2010,
Genoa
Perlahan,
detak jantungnya mulai melambat seiring
dengan detik jam yang menempel di dinding. Aku berada di luar ruangan yang
penuh dengan alat-alat mengerikan itu, sendiri dalam sepi,sunyi, dan dingin
malam yang menusuk. Tanpa beralaskan kaki, air mata bercucuran deras, dengan
harapan melayang tinggi “tolong, jangan ambil ibuku.”
Pengelihatan
itu begitu menakutkan, sampai pada akhirnya 1 orang dewasa keluar dari ruangan
itu dan berkata,
ibuku
telah tiada.
***
2014,
Genoa
Sudah
4 tahun yang lalu sejak ibuku tiada. Semenjak saat itu tidak ada 1 pun hal yang
lebih kuperhatikan. Ibu telah mengajarkanku banyak hal. Hidup ini sudah begitu
cacat saat aku dilahirkan kedunia, kenyataan bahwa aku anak yang dilahirkan
dari hubungan di luar pernikahan, membuat hidupku buruk dari hari ke hari.Ibuku
berjuang seorang diri untuk menghidupiku, melarikan diri dari kediaman Ayahku,
menetap, dan akhirnya membangun kehidupan di sini. Bahkan ibu tidak pernah
berkata apapun tentang Ayahku, aku dilarikan saat masih bayi berumur 3 bulan,
alasan mengapa ibuku melarikan diri adalah ibuku takut aku akan diambil oleh
Ayahku dan istri sahnya, tidak ada hal lain yang diceritakan ibu, bahkan Ayahku
siapa, ia tinggal dimana akupun tidak mengetahuinya, sampai sekarang. Tanpa
adanya Ibu di sisiku, aku bahkan tak tahu kemana harus melangkah.
Jam
di dinding sudah menunjukkan pukul 5 lebih 45 menit di pagi hari, aku berkemas
karena aku harus menjalani kelas pagi. Mengambil dasi dan memakainya di depan
kaca, sebelum aku selesai memakaikan dasi di leherku berbunyilah bel flatku.
“Norin!
Ayo berangkat, kita akan terlambat masuk kelas jika pergerakanmu lambat seperti
siput di dalam jelly.”
Aldira.
Satu satunya manusia di dunia ini, yang aku percayai untuk masuk ke dalam dunia
kacauku ini, mengetahui hal busuk dalam latar belakangku, betapa tidak
bergunanya aku, dan satu satunya orang yang pernah berbagi kesedihan dan
kesenangan di dalam hidupku, setelah Ibuku.
“Tunggulah
sebentar.” Sahutku lembut.
Ku
ambil tas yang sudah kusiapkan, meminum segelas coklat panas yang juga sudah
kusiapkan, memakai sepatu hitam di dekat almari, dan mencium kening Ibuku di
dalam sebuah bingkai foto.
“Ibu
aku berangkat sekolah dulu, Ibu baik baik ya.” Kataku pelan
“Norin
Isabel Wensley!!” teriak suara perempuan dari luar
Aku
bergegas membuka pintu, dan berniat membungkam mulut Al
“Iya,
ini aku. Mengapa kau begitu terburu-buru, waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi,
ada apa denganmu?” Gerutuku di depan Al.
“Tidak.
Tidak ada yang salah, aku hanya ingin kabur dari rumah, pagi sekali Ayahku
membangunkan seisi rumah karena merasa kehilangan manekin rekayasa
lingkungannya. Seperti biasa, aku adalah orang pertama yang dipastikan akan
kabur dari rumah.” Celotehnya
“Lalu,
apakah manekin Ayahmu dapat ditemukan?”
“Entah,
siapa peduli.
Ayo!”
Al
memang selalu begitu. Di dalam kehidupannya kata keluarga hanyalah formlitas,
entah apa yang membuatnya begitu dirugikan oleh Ayahnya, namun, ia selalu
memberontak setiap kali Ayahnya berbuat sesuatu yang tidak disukainya. Andaikan
saja aku ada di posisi Al, aku tidak akan pernah menyia-nyiakan kehidupan karena
aku memiliki Ayah.
***
La
Liguini School, Genoa
“Sudahkah
kau mendengar, bahwa kita akan kedatangan murid baru?”
“Siapa,
siapa?”
“Akupun
tak tahu, tapi kabarnya ia seorang pelajar dari Manchester.”
“Apakah
ia perempuan atau pria?”
“Pria!”
Seisi
kelas terlihat gaduh dan berisik, setidaknya itulah yang dapat kudengarkan.
Seorang anak baru akan datang dan hadir di kelasku.
“Kau
nampak tidak tertarik, Norin bangunlah! Seorang pria, pindahan dari Manchester,
akan menjadi teman kita.”
Al
mencoba merayuku untuk nampak tertarik dalam kondisi ini.
“Tidak.”
Sahutku singkat
“Aaaaaaaah,
kau ini, bagaimana caranya kau akan memiliki kekasih bila hatimu sekeras batu!
Mendengar kata pria saja kau itu tampak datar, bagaimana kau akan merasakan
sebuah romansa?”
“Berhenti
mengatakan hal konyol seperti itu, jika memang ada seorang pria pindahan dari
Manchester biarkanlah ia bergabung, apa hal dan masalah denganku? “
“Hah,
susah berbicara denganmu, kutubuku!”
Al
mengatupkan mulutnya keras keras, dan mulai menata rambutnya seperti biasa. Dan
aku melanjutkan untuk membaca buku materi di dalam genggamanku.
Bel
kelas berbunyi, seketika hening.
Mrs.
Samantha memasuki ruangan membawa beberapa buku, dan...
“Selamat
pagi class?”
“Pagi.”
Aku
menatapnya.
“Bagaimana
kabar kalian di hari ini?”
Aku
masih menatapnya.
“Baik.”
“Tidak begitu baik.” “Luar biasa.” “Melelahkan.” “Biasa saja.”
Aku
tidak menghiraukan kelas lagi.
“Baik
lah, pasti kalian telah mendengar rumor rumor yang beredar. Memang benar,
kalian mendapatkan teman baru, biarkan ia memperkenalkan dirinya. Silakan...”
“Selamat
pagi.”
“Pagi.”
Serentak kelas menjawabnya, akupun iya.
“Perkenalkan,
nama saya, Zedd Dimitri Brown. Kalian bisa memanggil saya dengan sebutan Zedd.
Saya berasal dari IOA School of Manchester. Saya berharap dapat menjalin
pertemanan bersama kalian dengan baik.” Ia menutup perkenalan singkatnya dengan
senyuman .
Aku
merasa tidak asing, tapi entahlah, aku terus menatapnya.
“Baik,
terimakasih Zedd, adakah hal yang ingin ditanyakan kepada Zedd?”
Mark
melambaikan tangannya.
“Yes Mark.” Mrs. Sam mempersilakan
“Berapa
umurmu?”
“19.”
“Wah
tua sekali.” Sahut Yeslin di belakang.
Aku
seketika heran mengapa seorang yang berumur 19 tahun duduk di bangku sekolah
dengan kami yang berumur 17 tahun.
“Yeslin,
jaga bicaramu!” Mrs.Sam menegur
“Maafkan,
anak-anak kelas ini Zedd.” Lanjut Mrs. Sam
“Tidak
mengapa Mrs. Saya bisa menjelaskannya. Mungkin kalian bertanya-tanya mengapa
saya sangat tua untuk bersanding dengan kalian, saya rehat sekolah selama 2 tahun sejak umur 15 tahun untuk
melanjutkan bisnis keluarga saya.”
“Perusahaan
apa?” Tambah Rachel
“Perusahaan
Diamond Flare.” Jawabnya dengan singkat
Mengetahui bahwa perusahaan itu
adalah perusahaan mega besar, seluruh kelas menjadi gaduh.
“Ayah saya sakit dan harus
beristirahat, karena saya adalah anak tunggal, saya diperintahkan untuk
mengatur jalannya bisnis dengan bantuan asisten-asisten Ayah saya.” Lanjutnya
“Jadi kau orang kaya? Mengapa kau
pindah ke kota ini, dan bersekolah di sekolah nasional bersama kami, dan tidak
bersekolah di sekolah internasional?” Timi
menyambung
Tidak ada kekesalan di wajah Zedd,
dia tetap tersenyum. Sedangkan Mrs. Sam mulai tampak kesal.
“Itu bukan sesuatu yang penting bagi
saya. Lagipula saya datang ke kota ini karena ada urusan keluarga.”
“Saya rasa cukup! Zedd terimakasih
banyak, silakan duduk ditempat yang kosong, dan buka buku Physic kalian halaman 224.” Sela Mrs. Sam dengan cepat
Zedd duduk di depan meja guru karena
di situlah tempat satu-satunya yang dapat ia duduki.
***
“Nor,apakah menurutmu dia tampan?”
Al kembali menanyakan hal konyol
“Dia siapa?”
“Zedd, kau pikir siapa lagi?” jawab
Al kesal, namun sebenarnya aku mengerti siapa yang ia maksud.
“Tidak.”
“Menurutku juga seperti itu.” Aku
tekejut, pertama kalinya Al berkata bahwa anak pindahan tidak tampan.
“Kau yakin?” aku menambahkan
“Tidak. Mungkin dia itu, emm...mungkin
seperti, dia itu..... charming.” Sudah kuduga, walaupun Al berkata bahwa Zed
tidak tampan, tapi ia mengatakan hal yang hampir sama dengan itu.
“charming?
Bagaimana bisa? Kau berkata bahwa dia tidak tampan namun dia charming?”
Al
merengut, tiba-tiba ia berdiri dan mulai memperagakan sesuatu
“ dia memang tidak tampan, tapi kau
bisa lihat caranya memperkenalkan diri tadi.”
Ia mulai berulah
“nama saya Zedd Dimitri Brown”
“
saya rehat sekolah dari umur 15 tahun”
“
itu tidak penting bagi saya.”
Al
sungguh gila
“Apa kalian memanggil namaku?”
Al terkejut dan terjatuh kebelakang
“Aduh, sakit!” Al mengusap usap
bokongnya, aku membantunya bangun seraya berkata
“Kau bisa lihat? Dia saaaaaaangaaaat
charming.” Aku berkata sambil
tersenyum sinis
“Maaf, kalian memanggil namaku
tadi?”
“Tidak.” Jawab Al cepat
“Oh, maaf, mungkin saya salah
dengar. Bolehkah saya meminta bantuan. Saya tidak tahu dimana kantin sekolah
ini, saya sedang kelaparan sekarang, bisakah kalian memberitahu dimana kantin
itu? Tenang, saya traktir.”
“Tentu saja kami mau, ayo Nor.”
Al
langsung menarik tanganku, sebenarnya jika tidak terdahului oleh Al, aku ingin
menjawab permintaan Zedd, sungguh.
***
“Apakah kalian bersahabat? Saya
melihat kalian berdua selalu bersama?”
Tanya
Zedd ditengah-tengah acara makan siang yang dibuatnya
“Sebenarnya tidak.” Al menjawab
Aku
berbelok ke arah Al dengan mata terbelalak.
“Benarkah itu?” Zedd bertanya lagi
“Tentu saja. Sesungguhnya kami hanya
teman biasa hanya saja aku sangat kasihan melihat Norin selalu menyindiri,
akhirnya aku berbaik hati untuk menemaninya, di kelas, di kantin, di rumahnya,
mengerjakan tugas bersama, berbelanja, mengh...”
“Kau bercanda kan?” Zedd memotong
omong kosong Al
“Tentu saja. Maaf, kami memang
bersahabat. Aku kenal Norin dengan baik, ia pun juga begitu. Kami sering
menghabiskan waktu bersama, namun Norin anak yang kurang senang bergaul,
sebenarnya dia anak yang terbuka hanya saja dia pendiam.”
Aku memutar bola mataku setelah
mendengar Al berbicara, ia terdengar seperti ibu yang sedang menceritakan
kepribadian anaknya.
“Bagaimana jika saya menjadi teman
atau sahabat barumu?” Zedd bertanya tiba-tiba
Aku terdiam. Lalu tersadar beberapa
detik kemudian
“Teman iya. Sahabat, kupikir itu
akan sulit.” Kataku singkat
Al tidak berkomentar apapun, mungkin
Al tahu mengapa aku berkata seperti itu.
“Itu tidak dimungkinkan. Soal kau
yang pendiam atau tidak senang dengan bergaul, saya bis..”
“Tidak seperti yang kau bayangkan.”
Potongku, tanpa menunggu respon apapun aku menambahkan
“Baiklah, aku ingin ke perpustakaan,
kau mau ikut denganku atau tinggal di sini Al?” Lanjutku
Al nampak bingung, namun cepat
berkata
“Maafkan aku, kita bertemu di kelas
ok?” katanya kepada Zedd
Aku melihat dari ujung mataku, Zedd
mengangguk dan tersenyum
***
“Sampai kapan?”
“Sampai kapan apa?” Aku menjawab pertanyaan
Al, sembari membolak-balikkan halaman majalah yang ada di depanku.
“Kau. Hidupmu. Apakah kau hanya
ingin mempunyai hidup seperti ini saja? Kau tidak ingin membuka diri pada
siapapun? Mengapa kau tidak berubah sedari dulu hingga sekarang? Lihat dirimu!”
Aku tidak ingin menjawab pertanyaan
Al, aku tetap membolak-balikkan majalah di depanku, sebelum aku sempat
membalikkan halaman selanjutnya, terdengar suara
Brak!
Tangan Al sudah berada di atas
majalah yang kupegang
Aku
mendongak menatap Al
Ia segera menarik majalah yang ku pegang dan
membuangnya di meja lain.
“Kau pikir kau hebat? Kau bisa
menjalani hidupmu hanya dengan seperti ini?”
“Apa?” Kataku dengan nada meninggi
“Aku mengenalmu, sungguh. Bisa kau
bayangkan bagaimana bisa kau hidup sampai sekarang ini, jika kau tidak bertemu
denganku? Aku tidak sesumbar. Aku mengasihimu, maka dari itu aku menegurmu
dengan keras. Kau-tidak-bisa-hidup-terus-seperti-ini.” Kata-kata terakhir itu
diucapkan Al lebih lambat dari kata-kata sebelumnya.
“Aku tidak perduli seberapa sulit
hidupmu. Karena hidupku juga sulit. Jangan kau kira hanya hidupmu yang sulit.
Namun apa? Kau selalu bersembunyi, bersembunyi dibalik flat kecilmu,
perpustakaan, buku-buku mu, kenaganmu, atau foto ibumu!!”
Aku segera berdiri.
“Cukup!”
Tidak
ada kata-kata lain yang kukeluarkan, aku segera mengambil tasku dan pergi dari
perpustakaan
***
Taman
Sekolah, La Liguini School, Genoa
“Kau-tidak-bisa-hidup-terus-seperti-ini.”
“Bisa
kau bayangkan bagaimana bisa kau hidup sampai sekarang ini, jika kau tidak
bertemu denganku?”
“Kau
selalu bersembunyi, bersembunyi dibalik flat kecilmu, perpustakaan, buku-bukumu,
kenanganmu, atau foto ibumu!!”
Al
membuatku gila. Setidaknya kata-kata itu selalu berputar di pikiranku.
Sesungguhnya aku tidak bersembunyi, aku tidak-tidak ingin membuka diri,aku
hanya memikirkan apa reaksi orang terdekatku jika mengetahui tentang latar
belakangku, tidak semua orang bisa memiliki jalan pikir seperti Al bukan?
Aku,
aku sungguh kebingungan.
Aku
menelungkupkan wajahku ke dalam jaket yang kupakai, karena cuaca memang sedikit
dingin.
Dan
tiba-tiba sebuah cup hot chocolate berada
tepat di depan wajahku, dan mengagetkanku. Aku mendongak ke arah tangan yang
memberikan hot chocolate itu.
“Ini
untukmu.” Katanya lembut
Zedd
Aku mengambil gelas itu dari
tangannya
“Terimakasih.”
“Bolehkah saya duduk di sebelahmu?”
Aku tidak menjawabnya aku hanya
menganggukkan kepala
“Cuaca di sini sebenarnya tidak
sedingin Manchester. Namun setidaknya kau butuh penghangat, karena sedari tadi
saya melihat kau...”
“Zedd.” Aku memotong perkataannya
“Ya?”
“Apakah kau memang terbiasa
berkata-kata menggunakan kata “saya” , maksudku tidak apa-apa, hanya saja kau
bisa menggunakan kata-kata “aku” jika berbicara denganku.”
“Maaf.”
“Kau tidak perlu minta maaf.”
“Saya, astaga.... maksud saya aku, emm...
a-ku belum terbiasa berbicara seperti ini, karena dirumah-ku semua orang
berkata-kata dengan bahasa formal.”
“Oh aku bisa melihatnya , ok, terserah kau saja.”
“Namun saya...... aku akan
berusaha.”
Kata-kata Zedd, membuatku ingin
tertawa. Namun hal itu membuka sedikit gerbang kokoh di dalam hatiku.
“Apa kau baik-baik saja?” Tanyanya
kepadaku
“Tentang?”
“Apakah kau takut jika aku menjadi
temanmu suatu saat aku akan meninggalkanmu?”
Mataku terbuka lebar.
Apa?
Apa yang baru saja ia katakan? Apakah ia cenayang? Mengapa ia bisa membaca
pikiranku? Aku berharap ini mimpi, ini mimpi, ini hanya mimpi!
“Mengapa
kau tidak menjawab pertanyaanku?”
“Jangan
berlagak kau tahu segalanya.” Kataku singkat
“Sebenarnya
tidak. Aku hanya berasumsi, maafkan aku. Aku mendengarkan pembicaraanmu dengan
Al tadi.”
“Dimana?”
“Di
perpustakaan”
“Kau
gila? Kau telah menguping pembicaraan kami?”
“Sebenarnya
itu tidak disengaja,setelah dari kantin aku hendak pergi ke kelas, aku bertemu
Mrs. Sam, beliau menyuruhku untuk mengambil buku data diri di perpustakaan, aku
melihat kalian berdua di sana, aku hendak menyapa kalian, namun Al menggebrak
meja, dan aku tak tahu mengapa. Aku mendengarkan pembicaraan kalian, dan aku
mengasumsikan banyak hal. Aku minta maaf, jika kau tidak suka, aku akan menarik
perkataanku, dan melupakan kata-kata yang telah kudengar tadi.”
“Itu
tidak perlu.” Aku menghambatnya
Tidak
ada respon dari Zedd, aku melanjutkan
“Apa
asumsimu?”
“Kau
benar ingin mendengarkannya? Mungkin bisa merusak perasaanmu, tapi maafkan aku
jika aku menjadi seseorang yang berlagak tahu.”
“Tidak
apa-apa, apa asumsimu?”
“Kau
takut berteman karena seseorang akan meninggalkanmu jika mengetahui latar
belakangmu, atau kau trauma berteman sehingga kau tidak mau membuka hati, atau
kau malu dengan masa lalumu.”
“Hanya
itu?”
“Ya,
setidaknya itu yang kupikirkan.”
Aku
menarik nafas dalam dan mulai berbicara
“Aku
minta maaf, karena langsung menjawab dengan kasar penawaranmu tadi, yang
mengakibatkan kau berasumsi banyak hal. Tentang pembicaraanku tadi dengan
Al,bukan sesuatu yang penting. Namun, semua asumsimu benar.”
Zedd
menatapku, dan aku menatapnya
Sebelum
Zedd berkata-kata aku mengeluarkan kata-kataku terlebih dahulu
“Sebagai
seseorang yang baru pertama kali bertemu, kau sungguh bisa membaca keadaanku.”
“Aku
tidak mengerti apa-apa, aku minta maaf, aku akan pulang sekarang, jaga dirimu
baik-baik.”
Katanya
cepat.
Hei.
Itu bukan kata-kata yang ingin kudengarkan, ia meninggalkanku sendirian di
taman sekolah, sungguh menyebalkan.
***
Hari
ini aku berangkat lebih awal, Al tidak bisa masuk sekolah karena ia sakit.
Sepulang sekolah aku akan menjenguknya.
Pagi
ini badanku terasa kacau, aku bekerja 2 kali kemarin. Setelah pulang sekolah
aku bekerja di Twist Resto sebagai chasier
dilanjutkan dengan menjadi penyanyi di Via Luigi Resto, dengan bekerja
seperti itu aku bisa membiayai hidupku sendiri, menggantungkan hidupku pada
beasiswa yang kuterima 1 tahun yang lalu, tentu tidak akan menutup semuanya.
Aku
melangkah dengan langkah berat menuju sekolahku, sampai pada...
Brak!!
Seseorang
menabrakku.
Aku
jatuh tersungkur kedepan
Aku
tidak bisa merasakan apapun, aku tidak bisa bangun, badanku terlalu sakit untuk
berfikir apalagi untuk bangun. Aku hanya merintih kesakitan.
“Maafkan
aku, aku minta maaf, aku akan membantumu berdiri.”
Aku
tidak memperdulikan siapa yang menabrakku, aku hanya mengulurkan tanganku.
“Apa
kau kuat berdiri?”
Tanyanya
tergesa-gesa, aku memaksakan wajahku mendongak menatapnya, ternyata Luis.
Aku
menggeleng-gelengkan kepala.
Aku
sungguh tidak kuat berdiri, Luis jauh lebih besar daripada aku, dan ia menabrak
tubuhku yang terasa sangat kacau hari ini.
Sebelum
Luis berhasil mengangkat tubuhku, terdengar teriakan
“Hei!”
Aku
melihat seseorang pria berdiri sekitar 5 meter dari kami. Dia Ernest, “preman”
sekolahku. Dan aku langsung menyadari bahwa Luis berlari ketakutan sehingga
menabrakku.
“Kau
mau lari kemana?”
Tanya
Ernest , sambil menarik Luis yang sedang membantuku berdiri. Ernest menarik
Luis dengan kasar, membuat aku tidak mempunyai tempat penopang, dan aku
terjatuh lagi.
“Kau
memang pecundang Lue. Kau harusnya sadar apa yang telah kau perbuat, dan
sebagai gantinya kau harus menerima ini.”
Terdengar
pukulan
Aku
memutar kepalaku dan melihat Ernest menonjok wajah Lue.
Aku
berteriak dengan keras
Namun
Ernest tidak menghiraukan teriakanku, ia tetap menghajar Lue, dan anehnya Lue
tidak membalas Ernest ataupun melawannya.
Hal
itu membuatku geram.
Aku
berusaha berdiri, aku menggeram pelan namun aku bisa berdiri. Aku
menyeimbangkan badanku dan mulai mengatur nafas. Tidak jauh dariku Ernest terus
menerus menghajar Lue.
Akupun
berteriak
“Ernest
berhenti!!!”
Ernest
menghentikan acara pemukulannya, dan datang menghampiriku, aku mundur dengan
perlahan,karena aku mulai ketakutan
“Jangan
dekati aku!!”
“Apa?
Kau yang menyuruhku berhenti menghajar Lue, kukira kau ingin menanggung harga
yang harus dibayar Lue.”
Ernest
semakin mendekat, dan aku tak tahu lagi harus bagaimana, jika aku berteriak itu
sia-sia, jika aku berlari, Ernest akan menangkapku.
“Jangan
dekati dia!” Lue terbaring di tanah, penuh luka lebam, teriakkannya terdengar
lirih
Namun
Ernest tidak menghiraukannya
“Kau.
Tidak usah ikut campur. Kau tahu, aku tidak pernah takut untuk menghajar
siapapun, termasuk wanita. Jadi terima ini.”
Plak!
Ernest
menamparku, aku terjatuh ke tanah lagi
Pipiku
mulai terasa panas. Ernest memang kejam, kalau saja badanku tidak terasa sakit,
aku akan balas menghajarnya.
“Bagaimana?
Sakit? Bagaimana dengan yang ini.”
Aku
melihat Ernest menarik kakinya dan hendak menendangku, aku menutup mata,
seakan-akan bersiap menerima tendangan sekuat apapun itu.
“Kau
terlalu hina untuk melakukan hal itu.”
Ada
suara lain terdengar, aku membuka mata, dan mendongak ke atas.
Zedd
Tanpa
berfikir panjang, Zedd yang berjarak cukup dekat dariku, berjalan cepat dan
menendang bagian perut Ernest.
Aku
terbelalak kaget, Ernest jatuh di depanku. Tak lama Ernest segera bangun, berniat
mendorong Zedd, namun hal itu terpatahkan, Zedd menangkap tangan Ernest dan
memutarnya ke bawah, menendang menggunakan lututnya tepat di wajah
Ernest,berkali-kali.Ernest berusaha melawan, namun Zedd mengunci tubuhnya
sehingga Ernest tidak dapat bergerak. Terakhir ia mendorong Ernest jauh-jauh
dari dekatku.
“Pergunakanlah
kemampuan menghajarmu itu untuk hal yang lebih tepat.” Zedd berkata pada Ernest
Aku
melihat Ernest tidak lagi melawan Zedd, karena ia merengus kesakitan.
Zedd
mengambil tangan Lue, mengawal Lue duduk di bawah pohon yang tidak jauh dari
kami
“Kau
tak apa?” Kata Zedd lembut
“Tidak
apa-apa,aku akan bangun dan pergi ke UKS, aku bisa.Bawa saja Norin. Aku
menabraknya tadi dan ia ditampar Ernest. Ia lebih kasihan daripadaku.
Terimakasih.” Lue menjawabnya.
Zedd
mengangguk dan segera berjalan menuju ke arahku, aku berusaha menopang badanku
sendiri namun aku tetap tidak kuat.
“Biar
kubantu.”
Zedd
membawa tasku dan meraih tanganku, ia menopangku dengan tangannya
“Apa
kau bisa berjalan?” tanyanya
“Akan
kuusahakan.”
Langkah
pertama yang kurasakan begitu menyakitkan, aku tidak bisa berdiri apalagi berjalan,
aku terjatuh keempat kalinya, aku begitu kesal, aku merasa seperti pecundang
lemah
“Ini
tidak akan berhasil.”
“Apanya?”
Zedd
tidak menjawab pertanyaanku, namun ia memakai tasku dipundaknya, meraih kaki
dan tanganku, Zeddpun menggendongku.
Aku
terkaget
“Ini
tidak perlu, aku bisa berjalan, sungguh, aku hanya perlu mencobanya dengan
lebih keras lagi.” Aku berbicara dengan tergesa-gesa
Zedd
tidak menjawab perkataanku dan tetap berjalan
“Zedd!”
teriakku
“Kau
berisik.” Zedd balik memarahiku
Aku
terdiam dan tidak berkata-kata
“Apa
kau yakin, kau bisa berjalan jika kau berusaha lebih lagi? Kurasa tidak. Maka
dari itu, diam, jika kau takut orang lain melihat kita, itu tidak perlu,
sekarang masih jam 6 kurang 5 menit, tidak ada seorangpun yang akan datang
sepagi ini.” Jelas Zedd
“Tapi
kau datang sepagi ini?” Tanyaku padanya
“Lalu
kenapa? Mungkin takdir. Jika tidak ada aku, kau akan jadi apa di tangan anak
brengsek itu?” Jelasnya lagi padaku
Kami
sampai di UKS sekolah
Zedd
menaruhku di sebuah kursi di dekat jendela, ia pergi ke kotak obat untuk
mencari entah apapun itu. Aku melihat ke arah luar jendela, memang, aku memang
datang sangat pagi, tidak ada siapapun lagi di halaman sekolah. Bahkan aku
sudah tidak tahu dimana Lue dan Ernest.
“Taruh
ini di pipimu.” Zedd menyodorkan plastik berisi es batu
Aku
mengambilnya dan menaruh benda itu di pipiku
“
Kau tahu aku ditampar Ernest?”
“Ya.”
Jawabnya
singkat, lalu ia berjongkok di hadapanku, dan ia membuka sepatuku.
“Bagaimana
hal ini terjadi! Apa yang telah kau lakukan, sehingga menjadi seperti ini?”
katanya tiba-tiba
Aku
terheran dan melongok ke arah kakiku, ternyata kakiku penuh lebam. Aku memang
sangat letih hari ini, namun aku tidak merasa ada lebam apapun, mungkin setelah
ditabrak oleh Lue, lebam itu baru muncul.
“Aku
tidak tahu.”
“Jangan
berbohong. Katakan padaku, agar aku bisa menanganinya dengan tepat.”
Katanya
tegas padaku.
Aku
begitu kikuk dihadapan Zedd.
“Aku
tidak berbuat apa-apa, aku hanya letih pagi ini, kemudian Lue menabrakku, aku
terjatuh, aku kesakitan, aku tidak bisa berdiri, Ernest menamparku, aku
terjatuh lagi, dan saat kau mau menolongku , kakiku tidak kuat, aku terjatuh
lagi.”
Jelasku
cepat pada Zedd. Entah apa yang dipikirkannya, ia berjalan cepat menuju kotak
obat
Pria
yang cekatan. Pikirku dalam hati
“Kau
pernah memakai ini?”
Ia
menyodorkan sesuatu ke arahku, bertuliskan healing
oil
“Minyak?
Ya sering, kenapa?”
“Bagus,
berarti kau tidak alergi.”
Ia
kembali jongkok dihadapanku, dan aku kembali terkaget.
Zedd
mengusap pelan kakiku, sekali Zedd menyentuh lebamku aku mengrenyit kesakitan.
“Mungkin
sedikit sakit, namun kau harus menahannya.”
“Kau
tidak perlu melakukan ini, aku bisa.”
Ia
menatapku dengan sangat aneh
“Apa?”
tanyaku bingung
“Jangan
sekali-kali berlagak bisa, jika kau tidak bisa, aku tidak suka. Kau paham?”
Aku
menganggukkan kepalaku sesekali.
Setelah
selesai mengusap seluruh lebamku, Zedd mencuci tangannya, merapikan semua
barang yang diambilnya untuk dikembalikan ke tempat semulanya.
Benar-benar
pria terampil, dia memang terlihat seperti pria yang 2 tahun lebih tua dari
padaku.
Kemudian
ia menarik sebuah kursi dan duduk di depanku.
Aku
ingin berkata sesuatu namun ia mendahuluiku
“Sekarang
masih pukul 6 lewat 15 menit, kau mau berbuat apa?”
“Aaah..
aku datang sepagi ini, untuk membaca artikel pagi di perpustakaan.”
“Kau
tidak bisa membacanya di rumah?”
Pertanyaan
Zedd membuaku bingung harus kujawab apa. Aku tidak mungkin berkata bahwa aku
tidak memiliki akses internet di komputerku, itu akan membuat Zedd bertanya
terus menerus.
“Aku...
aku sudah terbiasa membaca artikel di perpustakaan sekolah, karena lebih nyaman
untuk edukasi, daripada dirumah, kau tahu kan? Orang tua, selalu saja
mengatur-atur akses internet di rumah, itu membuatku kesal, maka dari itu, aku
senang membaca artikel di sekolah.”
Zedd
tidak menjawab pertanyaanku, namun ia menganggukkan kepalanya, seolah-olah ia
paham dengan kebohonganku.
Sejenak
tidak ada percakapan diantara kami, namun Zedd segera angkat bicara
“
Kurasa cukup. Berikan plastik itu.”
Ia
menarik plastik yang penuh es batu itu dari tanganku
“Aku
merasa cukup baik. Pipiku tidak terlalu sakit sekarang. Namun aku belum tahu
bagaimana dengan kakiku.”
“Kau
mau mencoba berjalan?”
“Bagaimana
jika aku jatuh?”
“Aku
ada. Apa gunanya aku disini?”
“Kau
tidak keberatan ?”
“Sesungguhnya
iya, mengingat badanmu tidak begitu kecil.”
“Apa?
Kau ingin mengatakan bahwa aku gendut? Kau jahat sama dengan Ernest!”
Aku
memukulnya dan tertawa bersamanya
“Mari
kita coba.”
Zedd
meminggirkan kursinya, dan meraih tanganku.Aku berusaha berdiri, dan
menyeimbangkan tubuhku.
“Langkahkan
kakimu, tapi jangan langsung menaruh semua beban badanmu, biar aku yang menjadi
topangan sementaramu.” Ulas Zedd padaku
Aku
hanya menganggukkan kepalaku, menyetujui perkataannya
Langkah
pertama tidak begitu sakit, langkah kedua mulai terasa nyeri, namun aku tidak
mau mengernyit atau menunjukkan aku kesakitan.
“Lumayan,
aku akan melepasmu.”
Zedd
berkata dengan penuh hati-hati, namun aku tidak siap
“Hati-hati.”
Aku
melangkahkan kakiku satu persatu, dan ternyata aku tidak terjatuh. Aku mampu
seimbang, aku bisa berjalan, aku tersenyum ke arah Zedd.
“Terimakasih.”
“Ya,
itu hanya sedikit yang mampu aku lakukan sebagai teman barumu.”
Aku
hanya tersenyum atas perkataan Zedd
“Baiklah,
kau harus duduk sekarang.” Zedd mengambil tanganku dengan perlahan dan
mendudukkanku di kursi yang semula aku duduki.
“Kau
nampak ahli dalam mengobati orang, darimana kau belajar?”
Aku
bertanya pada Zedd, dan berharap ada jawaban darinya
“Kau
lupa? Aku 2 tahun lebih tua darimu, aku rehat sekolah, dan melakukan banyak
hal. Hal seperti ini adalah hal yang wajib kupelajari, jadi, ya, aku sudah
terbiasa.”
Aku
mengangguk, dan bertanya lagi
“Kau
juga bisa berkelahi?”
“Itu
tidak seperti yang kau bayangkan. Seorang pria sudah seharusnya mempunyai
keahlian bela diri bukan?”
Aku
nampak bingung
“Kau
kebingungan?”
Lagi-lagi
dia membaca pikiranku
“Aku
atlet Judo, namun aku rehat berlatih selama setengah tahun ini, karena mengurus
kepindahanku dari Manchester.”
“Aaaaaah....
itu lebih masuk akal.”
Ia
tidak menjawab pertanyaanku, namun ia hanya tertawa
“Tapi,
dimana Aldira?”
“Dia
sakit.”
“Sakit?
Sakit apa?”
“Kau
sungguh mau tahu?”
“Ya
pasti.”
Kenapa
Zedd ingin mengetahui penyakit Al, itu sedikit menganggungku
“Entah,
aku ingin menjenguknya nanti, baru aku mengerti apa penyakitnya.”
“Aku
boleh ikut?”
Aku
merasa kaget
“Ya...........
kenapa tidak. Boleh , tentu saja.”
“Baiklah.”
***
“Zedd
maukah kau ikut berlatih futsal bersama kami , besok sore, di lapangan
sekolah.”
“Aku
akan menyukai itu, sampai bertemu ya.”
Zedd
sedang berbicara kepada Freddy, kapten tim futsal sekolahku. Setelah Zedd
berbicara dengan Freddy ia menghampiriku.
“Baru 2
hari kau sekolah di sini, kau sudah memiliki banyak teman.” Kata-kataku
mengalir begitu saja, aku tidak tahu aku ingin menggodanya atau aku iri
padanya.
“Kenapa?
Itu hal baik bukan?”
“Ya,
tentu saja.”
“Tidak
usah sinis. Mungkin orang-orang di sini ingin menjadi temanku karena mereka
merasa seperti adik bagiku.”
“Kau,
lucu sekali.”
“Memang.
Aku terlahir lucu dan baik.”
Aku
menyeringai, sungguh orang yang aneh
“Apa,
aku boleh bertanya padamu Zedd?”
“Apapun.”
Aku ragu
menanyakan hal seperti ini, namun aku mengeluarkan pertanyaanku
“Kemarin.
Setelah aku berkata bahwa semua asumsimu benar tentang diriku, mengapa, kau
langsung pergi meninggalkanku?”
Zedd
tidak langsung menjawab, ia duduk di kursi depanku, barulah ia menjawab
pertanyaanku
“Aku
tidak ingin mencampuri urusan orang lain lebih lagi. Aku tidak ingin
menhancurkan perasaan orang lain dengan kata-kataku.”
Aku
menarik nafas dalam, dan tersenyum
“Menurutmu,
perasaanku hancur?”
“Aku
berkata bahwa aku tidak-ingin, itu berarti belum terjadi, namun aku tidak ingin
itu terjadi.”
“Kau,
kau itu baik.” Jawabku singkat
“Aku
selalu berusaha untuk itu.”
Aku
tersenyum di hadapannya
“Zedd!!”
Aku
menoleh ke arah orang yang memanggil Zedd
“Hey
Aaron!”
“Kau
ingin bergabung bersama kami? Kami akan meng-hunting foto selama beberapa menit, kau membawa kameramu bukan?”
“Ya
tentu saja. Sebentar.”
Zedd
berbalik mengarahkan wajahnya ke arahku
“Aku
akan bergabung bersama tim photography
kita bertemu setelah pulang sekolah oke?”
Aku
menggeleng-gelengkan kepala
“Kau sangat
mudah beradaptasi, baiklah.... selamat bersenang-senang.”
Ia
mengangguk dan tersenyum, Zedd melangkahkan kakinya ke arah meja dan kursinya,
mengambil kamera di dalam tasnya, dan bergabung bersama Aaron untuk meng-hunting foto.
***
“Kita
sudah sampai.”
Aku dan
Zedd berdiri di sebuah pintu gerbang yang besar, rumah Al.
“Kau
yakin kita akan dianggap baik, mengingat kita tidak membawa apapun untuk Al.”
Tanya Zedd, kata-katanya keluar dengan penuh keraguan
Aku
balik menatapnya
“Al
tidak butuh itu.” Aku tersenyum
Aku
memencet bel yang tertempel di depan gerbang.Segeralah pintu itu terbuka.
“Good evening Mr.Jo, where’s Al?”
Aku berbicara
kepada Mr.Jo, penjaga rumah Al
“Good evening Ms.Wensley. She is
in her room.”
“ Ok,thankyou.”
Aku
dan Zedd, berjalan memasuki rumah Al, kami menaiki anak tangga yang ada. Dan
berdiri di depan pintu kamar Al.
“Al,
bolehkah aku masuk?”
“Norin.
Tentu saja! masuklah.”
Aku
membuka pintu kamar Al, memasuki kamar Al, namun Zedd tetap berdiri di luar
“Kau
tidak ingin masuk?” tanyaku pada Zedd
“Apa kau
tidak berfikir kesopanan? Aku pria yang akan masuk ke kamar wanita.”
Aku baru
menyadarinya, lalu aku menganggukan kepala
“Al, aku
datang bersama Zedd, apakah ia boleh masuk?”
Seketika
Al nampak lebih sumringah
“Zedd,
silakan masuk, tidak apa-apa.” Kata Al bersemangat
Aku dan
Zedd masuk ke kamar Al, kami berdua duduk di sofa yang sudah tersedia, kamar Al
memang besar, bahkan ukuran kamar Al sama seperti ukuran flatku.
“Kau
sakit apa Al?” tanyaku pada Al yang sedang menyantap sepiring buah
“Aku
merasa sakit kepala tadi pagi, namun sekarang lebih baik.”
“Apa kau
bisa masuk sekolah besok?” Zedd bertanya
“Hmm.”
Al menjawab pertanyaan Zedd dengan tidak jelas karena ia sedang mengunyah
sepotong apel.
“Aku
minta maaf, karena tidak membawa apapun untuk menjengukmu.” Lanjut Zedd
“Aaah....
itu tidak perlu, kau datang itu lebih baik, bagaimana sekolahmu Zedd?”
“Baik.
Aku bergabung dengan tim futsal dan tim photography.”
Jawab Zedd senang
“Dia
menjadi orang populer baru Al, baru 2 hari ia bersekolah, namun ia sudah
mempunyai begitu banyak teman.” Sambungku sebelum Al menjawab atau menyanggah
“Ah, itu
sudah bisa dipastikan, itu baik.”
“Ya
kurasa begitu.” Zedd tersenyum pada Al
Aku
merasa aneh.
“Al,
sebelumnya, rumahku hanya berjarak 20 meter dari sini.”
Aku
merasa kaget, rumah Zedd berdekatan dengan rumah Al
“Benarkah?
Di mana?”
“Di
persimpangan depan kau hanya perlu berbelok kanan maka kau akan bertemu
rumahku.”
“Tunggu,
tunggu, rumah dengan pagar hijau tua?”
“Ya itu
rumahku.”
Al
menaruh piring buahnya di meja lampu
“Kau
bercanda? Itu rumah paling megah di sini. Wah kapan-kapan aku bisa
mengunjungimu.”
Apa.
Berkunjung?
“Boleh,
tentu saja. Bagaimana jika kau berangkat bersamaku besok pagi, tenang saja aku
akan berangkat bersama adik sepupuku, adik sepupuku itu perempuan, jadi kau
bisa duduk di kursi belakang mobilku bersama adikku, jika kau mau.”
Aku
terbatuk.
Zedd dan
Al menatapku aneh
“Sepertinya
aku salah makan, maka dari itu aku terbatuk.” Aku mengada-ada cerita
“Tentu
Zedd. Bagaimana jika aku membawa adik laki-lakiku, kebetulan sekolahnya hanya
diujung jalan, dan 1 jalan dengan sekolah kita.”
“Itu ide
yang bagus.” Zedd menanggapi
“Terimakasih.”
Balas Al dengan tersenyum
***
Apa?
Zedd dan
Al, akan berangkat bersama?
1 mobil?
Bukankah
aku yang mengajak Zedd kerumah Al?
Tapi bagaimana bisa, mereka menjadi lebih
akrab dibandingkan dengan aku?
NORIN!
KAU GILA! Bisikan keras menamparku
Pikiranku
kalut. Aku baru mengenal Zedd 2 hari, tidak dimungkinkan jika aku menyukainya
pada pandangan pertama.
NORIN!
KAU BICARA APA! Bisikan yang tak kalah keras menamparku
Aku
memukul dahiku dengan tangan, aku merasa bodoh dan gila. Aku tidak bisa seperti
ini.Aku harus fokus untuk menyelesaikan studiku.
***
Aku
duduk di meja terdekat dengan pintu, hari ini aku berangkat menggunakan bus.
Kakiku kram beberapa kali pagi tadi, sehingga aku memutuskan untuk menggunakan
bus. Aku tidak bersama Al karena Al sakit lagi. Padahal baru kemarin ia dan
Zedd berangkat bersama ke sekolah.
Aku
memandangi pohon-pohon di luar sana, hal itu menenangkan hatiku menjadi sedikit
lebih baik.
Pohon
nampak lebih bahagia dari padaku. Mereka terus-menerus memberikan hal baik,
tanpa berfikir akan dibalas atau tidak, hal-hal baik itu terus dan selalu ada.
Kontras dengan apa yang aku alami dan kupikirkan.
“Nor...”
Suara
itu mengagetkanku
“Zedd!”
Wajahku sangat-sangat senang di luar kendali
“Apa
yang kau lakukan disini?” Tanyaku
padanya
Zedd
tidak langsung menjawab pertanyaanku, ia duduk di sampingku terlebih dahulu
“Jadi
kau selalu naik bus jurusan ini?”
“Hei.
Kau tidak menjawab pertanyaanku, sama sekali.”
Zedd
hanya bisa tertawa
“Sebenarnya,
aku bertanya pada Al dimana kediamanmu, tapi Al tidak mau menjawabnya, jadi,
aku bertanya jalan mana yang biasanya kau lalui jika hendak pergi ke sekolah.”
Aku
merasa banyak bunga bermekaran di hatiku, dan pipiku memanas
“Lalu
bagaimana kau bisa naik ke bus ini?”
“Entahlah.”
Ia mengatakan hal itu sembari menaikkan bahunya
“Aku
tidak menggunakan kendaraan hari ini, karena bemaksud untuk menemuimu, namun aku
menyerah karena kau tidak dapat menemukanmu, akhirnya aku menaiki bus ini,
malahan aku menemukanmu.” Lanjutnya
Mendengar
hal itu, hatiku menjadi lebih tenang.
Aku
mengahadapkan wajah ke arah Zedd
“Untuk
apa kau mencariku?”
“Aku
tertarik padamu.”
Mataku
terbuka sangat lebar, sampai aku bisa merasakan pedih di mata. Hatiku
melonjak-lonjak. Aku senang.
“Tertarik
menjadi temanmu.”
Oh
Seketika ia mendaratkan hatiku ke tanah
terbawah di muka bumi.
“Oh.kau
perlu berusaha lebih keras lagi untuk menjadi temanku.”
“Akan
kulakukan. Aku senang berteman, dan kurasa kau juga begitu.”
“Jangan
berlagak kau tahu segalanya.” Aku menunjukkan jari telunjukku di hadapannya
Ia
menangkap jari telunjukku dan menurunkan tanganku dari hadapannya
“Tidak.
Karena aku memang tahu.”
Aku
hanya bisa tersenyum namun juga kecewa.
Seketika
suasana bus tampak sepi dan lengang, sampai pada bus yang kutumpangi berhenti
untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Dan betapa mengejutkannya, Ernest
menaikki bus yang sama , yang aku dan Zedd tumpangi.
Zedd
melepas jaket yang dipakainya, dan menyelimutiku dengan jaketnya.
Pintu
bus sudah tertutup namun Ernest belum beranjak dari hadapan kami, ia tersenyum,
dan berkata.
“Mari
kita lihat, seberapa lama kalian bisa berdua.”
Kukatupkan
mulutku rapat-rapat sebelum aku kehilangan diri untuk meneriaki ataupun
menendang Ernest, mengingat betapa kejamnya ia menampar pipiku.
“Kau
takut Nor? Itu tidak perlu. Aku ada, dan semua akan baik.”
Aku
membelokkan wajahku ke arah Zedd. Ia menutup matanya dan menyandarkan
punggungnya di kursi bus, seolah-olah ia tidak peduli dengan keberadaan Ernest
tepat di hadapan kami.
“Tidur
saja. Bukankah kau sudah merasa hangat dengan jaketku?”
Zedd
menambahkan kata-kata sebelumnya
Aku
kebingungan harus menjawab apa, namun sebelum aku berkata apa-apa, Zedd menaruh
kepalanya ke atas pundakku. Aku merasakan energi dalam tubuh Zedd mengalir ke
tubuhku.
“Kalian
sangat menghinaku. Kita lihat saja nanti.”
Ernest
berjalan ke lantai dua bus. Dan hal itu membuatku bernafas lega. Namun Zedd
tidak memindahkan posisi tubuhnya. Aku mendorong kepala Zedd sampai terbangun
“Ernest
sudah pergi. Jangan pernah berbuat seperti itu lagi, kau membuatnya marah.”
Aku
melepaskan jaket Zedd dan segera mengembalikannya, Zedd menerima jaket
pemberianku dan memakainya kembali
“Anak
seperti itu memang selalu marah. Biarkan dia pergi, dan biarkan dia meledak.”
“Kau
tidak seharusnya seperti itu, kau tidak pernah tahu, mengapa Ernest menjadi
pemuda yang mudah marah, kau tidak tahu latar belakangnya. Kau paham?”
Zedd
menarik nafas panjang dan menghadapkan wajahnya ke arah wajahku
“Akan
kuusahakan.”
***
Bel
sekolah berdering dengan nyaring, itu tandanya jam kelas akan segera
berlangsung. Jam pelajaran pertama akan dihiasi oleh pelajaran sejarah dari
Mrs. Clark. Entahlah kupikir hanya aku satu-satunya orang di kelas ini yang
menyukai sejarah, karena menurutku sejarah amat penting. Sejarah adalah pondasi
kehidupan yang sekarang, jika sejarah itu baik maka hal baik yang ada, namun
jika sebaliknya bisa jadi hal baik atau buruk yang ada.
“Good morning class, How’s life?”
“Baik
Mrs.” Serentak kelas menjawab sapaan hangat Mrs.Clark
“Saya
sudah memegang hasil ulangan kalian kemarin.”
Seketika
kelas menjadi gaduh. Aku melirik ke arah Zedd, dia nampak tenang, padahal ini
adalah hasil ulangan pertamanya di sekolah ini.
“Mau
saya bacakan dari yang paling rendah atau paling tinggi?” Tanya Mrs. Clark
dengan bergurau
Kelas
menjadi sangat ribut
“Yang
tertinggi Mrs. Tolong jangan dari yang terendah.” Seru seseorang dari
belakangku, ternyata Brad yang memohon, aku tahu itu, karena Brad memang
langganan mendapatkan nilai buruk dalam sejarah.
“Kau
pasti mendapatkan nilai tertinggi lagi Nor.”
Seseorang
menepuk pundakku, Dorkas yang menepuk pundakku.
“Amin.
Tapi pasti kau juga mendapatkan nilai yang baik.” Aku tersenyum pada Dorkas
Dorkas
anak yang pintar di kelasku, aku selalu berperang nilai dengannya. Namun Dorkas
tidak pernah pelit ilmu, ia juga anak yang rendah hati.
“Baiklah,
nilai tertinggi, adalah 4.00, sempurna, A+.”
Seketika
seluruh kelas menjadi gaduh
“Astaga,
tinggi sekali, siapa yang mendapatkan nilai setinggi itu.”
Jantungku
berdegup kencang
“Selamat.
Zedd. Silakan ambil nilaimu.”
Apa!
Zedd,
melangkah ke depan dan mengambil nilainya, ia mengucapkan terimakasih pada
Ms.Clark.
Zedd
mendapat nilai tertinggi! Sempurna!
Aku dan
Dorkas bertatapan wajah, Dorkas menatapku dengan penuh keputus asaan di
wajahnya. Wajahnya nampak seperti “Astaga, aku mendapat pesaing baru.”
Aku
berbelok dan menatap Zedd, Zedd nampak biasa saja dan tidak nampak bangga.
***
“Kau.”
“Kau
apa?”
Aku dan
Zedd sedang makan di kantin sekolah, aku merasa bingung antara takjub dan kesal
terhadap Zedd. Takjub karena selain memiliki banyak kelebihan ternyata dia juga
pintar. Namun kesal karena aku mendapat pesaing baru di kelas selain Dorkas.
“Kau
tidak pernah mengatakan padaku bahwa kau pandai.”
Zedd
tidak langsung menjawab, namun meneguk orange
juice di hadapannya.
“Apakah
hal itu perlu kulakukan?
“Perlu!”
“Untuk
apa?”
“Jika
kau pandai, aku harus sangat berusaha untuk mengalahkan orang lagi.”
Zedd
menatapku dengan penuh tawa
“Mengapa
ekspresimu begitu? Kau ingin menghinaku?” tegurku padanya
“Seberapa
penting kedudukan juara kelas untukmu?”
“Sangat
penting.” Ku tancapkan garpu yang sedang kupegang ke piring di hadapanku untuk
menambahkan efek dramatis
“Kalau
begitu. Aku akan mengalah.”
“Kau
bercanda? Baru kali ini aku melihat orang sepertimu. Kau tidak mau menjadi
urutan pertama?”
Zedd
berhenti menyantap sup di depannya, dan segera menatapku
“Tidak....
aku hanya melakukan hal yang terbaik yang dapat kulakukan, aku tidak berambisi
menjadi juara kelas.”
Hatiku
lega
“Jadi
kau mau mengalah untukku?”
“Ya.”
“Sungguh?”
“Hanya 1
semester.”
Aku
menggebrak meja
“Kau
jahat.”
“Aku
ingin mendidikmu untuk menang dengan kerja keras dan susah payah.”
“Aku
sudah terlalu susah payah!”
“Aku
akan membantumu dalam belajar.”
Hatiku
kembali merekah
“Kau
mau?”
Zedd
menganggukkan kepalanya
“Sekarang
makanlah makananmu.”
Aku
menganggukkan kepala, pertanda menyetujui perintahnya.
“Tapi
satu hal lagi.” Zedd berkata tiba-tiba
“Dimana
rumahmu? Mana nomor ponselmu, akukan harus menghubungimu.”
Kuberhentikan
acara makanku. Aku tidak ingin memberi tahu Zedd dimana rumahku atau nomor
ponselku, aku sungguh-sungguh tidak ingin.
“Bisakah
kita belajar di sekolah saja?”
Zedd
nampak berfikir sejenak, lalu ia menganggukkan kepala. Itu melegakan bagiku.
“tapi
nomor ponselmu?”
Aku
tidak ingin Zedd tahu bahwa aku tidak memiliki ponsel, namun aku ingat bahwa
flatku tersedia telfon umum untuk penghuni flat yang ada.
“Bagaimana
jika nomor rumah?”
“Itu
tidak menjadikan sebuah masalah, ketik di sini.”
Zedd
menyerahkan ponselnya kepadaku, ponsel Zedd begitu besar. Sampai aku takut
memegangnya, aku tidak bisa membayangkan jika ponsel sebagus ini terjatuh.
“Sudah.”
Aku menyerahkan ponsel Zedd dengan hati-hati.
“Baik,
nanti sore aku akan menelponmu. Bagaimana dengan nomor Al?”
Al?
Mengapa ia bertanya nomor Al.
“Aku
tidak mengingatnya.”
“Itu
tidak masalah.”
Hatiku
lega, namun aku merasa bersalah dengan Al.
***
“Kau
sudah makan?”
Aku
tengah berada di depan pintu kamar flatku. Zedd sedang di ujung telfon.
“Sudah.”
Zedd menjawab pertanyaanku.
“Besok
aku akan pergi bersama Yon dan Zoe, mereka mengajakku untuk memancing.”
Aku
menggeleng-gelengkan kepala walaupun Zedd tidak dapat melihat gestureku.
“Kau
sungguh populer. Aku iri denganmu.”
“Kau
hanya perlu keluar dari area amanmu.”
Kata-kata
Zedd benar,namun aku tetap tidak bisa.
“Kau
sedang berada di mana sekarang?” kataku padanya, namun kata-kataku tidak
merespon nasehatnya
“Di rumah
Al.”
Hah!
Rumah Al!
“Mengapa
kau ada di rumah Al?!”
“Mengapa
nada bicaramu meninggi?” Nada suara Zedd nampak terkejut, dan aku baru tersadar
“Maksudku,
mengapa kau tidak mengajakku?” kataku mengarang cerita
“Ah. Aku
minta maaf, aku datang ke rumah Al atas perintah Ayahku, aku datang tidak
sendiri, aku bersama asisten Ayahku. Aku di perintahkan untuk mengunjungi
tetangga-tetangga terdekat, sebagai pertanda bahwa aku orang baru di sini.”
Aaaah.
Hatiku sangat lega, tidak dipungkiri aku senang, karena Zedd pergi atas
perintah Ayahnya bukan kemauannya sendiri.
“Nor.
Sudah ya. Aku akan menelponmu lagi nanti malam, besok kita bisa belajar bersama
sepulang sekolah.”
Aku
mendengus pelan
“Baiklah.”
“Jaga
dirimu baik-baik ya.”
“Iya,
kau juga.”
Kukembalikan
gangang telfon yang sedari tadi kupegang, dan memasuki flatku. Aku merebahkan
diri sejenak, karena perasaanku begitu tenang. Dan aku tidak peduli lagi, aku
akan mencoba membuka diri.
***
“Bagimana
caramu untuk menyelesaikan soal ini.” Zedd menyodorkan kertas kepadaku, kertas
dari Mr.Greg.
Aku dan
Zedd sedang berada di perpustakaan, perpustakaan tidak begitu sepi, namun masih
lumayan mendukung untuk belajar.
Kukerjakan
soal yang di berikan oleh Mr.Greg saat pelajaran Kimia di kelas tadi.
“Kau
salah.”Zedd mengambil kertas dari hadapanku.
“Salah
yang mana?”
Zedd
tidak menjawab pertanyaanku, namun langsung menjawab ulang soal kimia itu
“Kau
bisa lihat.”
Zedd
menunjuk pada kertas soal itu
“Kau
melewatkan hukum duplet. Jika reaksi ini yang dimaksud kau harus memenuhi
kaidah itu, karena logam mulia tidak seluruhnya mempunyai 8 elektron valensi.”
“Aaaah.
Itu kesalahanku.”
“Tidak
apa-apa, belajarlah lebih lagi.”
Zedd
tersenyum padaku, dan aku sangat bersemangat sekarang.
“Hai
Zedd, Hai Norin!”
Ada
suara yang memanggilku
“Hai Al,
ayo bergabung.” Lambaian tangan Al, di balas dengan tawaran Zedd
Mengapa
Al di sini?
“Aku
mengajaknya untuk belajar bersama, itu lebih baik bukan?”
Aku
menelan ludahku yang tertahan, Zedd mengajak Al tanpa berbicara dahulu padaku.
“Yaaaa......
Tentu saja.” Aku tersenyum dengan senyum penuh kemunafikan.
“Zedd,
kau bisa ajarkan aku tentang hal ini?”
Al
menyodorkan buku matematika ke hadapan Zedd, dan menarik sebuah kursi. Al duduk
di kursi itu tepat di tengah-tengah kami. Hal itu memaksaku untuk bergeser.
Aku
menggeserkan kursiku dengan hati dan pikiran dongkol.
Kukerjakan
soal kimia dari Mr.Greg sendiri. Dan membiarkan mereka berdua belajar
matematika. Dan aku bertanya-tanya sesungguhnya siapa yang ingin Zedd ajari
sebenarnya, aku atau Al.
***
“Kau
sedang ada di rumah?”
Zedd
menelponku lagi, malam ini, namun hatiku masih kalut.
“Ya.”
“Kau
sudah makan?”
“Ya.”
“Kau
sudah belajar?”
“Ya.”
“Ada
jawaban lain?”
“Tidak.”
Terdengar
suara hembusan nafas di ujung telfon. Dan aku tidak peduli
“Kau
sakit?”
“Tidak.”
“Lalu
mengapa kau menjawab pertanyaanku dengan setengah hati?”
“Lalu
aku harus bagaimana?”
“Tidak
tahu.”
“Kalau
begitu baiklah. Aku sedang lelah sekarang, bukankah kau juga lelah, pergi
memancing bersama Yon dan Zoe, istirahatlah.” Aku sangat kesal dengan Zedd
malam ini, baru saja aku berfikir untuk membuka diri kemarin, namun diriku
segera tertutup kembali karena kenyataan.
“Ya.
Jaga dirimu baik-baik. Kita bertemu di sekolah.”
Kututup
gagang telfon itu tanpa membalas kata-kata Zedd yang terakhir.
***
“Norin
ayo!”
Al sudah
menunggu di depan kamar flatku, aku tidak marah dengan Al. Tapi aku kesal
dengan Zedd.
“Sebentar.”
Ku
pakaikan semua perlengkapan yang sudah kusiapkan sedari kemarin. Dan kubuka
pintu kamar flatku.
“Bagaimana
keadaanmu?” Al nampak sangat riang. Sangat berbeda denganku. Melihat senyum Al,
hatiku menjadi tenang. Al memang selalu membuatku menjadi lebih baik.
“Tidak
begitu baik.”
“Aaaaah
aku mampu menebaknya, maka dari itu aku membawaaa...”
Al
merogoh tas plastik yang dibawanya.
“Ini!”
Terpampang
sebuah cup kecil bertuliskan hot
chocolate , persis yang di berikan Zedd kepadaku. Ya Tuhan.
“Ini
pasti membuatmu lebih baik bukan? Ayo kita berangkat, kita minum ini sambil
berjalan ke sekolah.”
Aku
menganggukkan kepala, mengambil cup itu, dan berjalan menuju sekolah bersama
Al.
***
Bel
istirahat berbunyi.
Al melambaikan tangannya padaku, ia akan pergi
ke ruang guru untuk mengikuti ujian susulan karena ia tidak masuk 2 hari yang
lalu.
Aku
membalas lambaiannya, dengan senyum dan menyemangatinya.
Sedari
tadi pagi, aku tidak ingin melihat wajah Zedd. Maka aku memutuskan untuk pergi
ke perpustakaan.
Aku
berdiri dan berjalan menuju perpustakaan.
Sesampainya
diperpustakaan aku mengambil buku novel secara acak dan duduk di kursi paling
belakang di balik rak buku yang besar. Maksudnya, agar aku bisa membaca buku
sendirian, dan tidak terganggu oleh siapapun. Namun hal itu segera terpatahkan.
“Ada apa
denganmu?”
Zedd
menarik kursi dan segera duduk di depanku.
Aku
tidak ingin menjawab pertanyaannya, dan menutupi wajahku dengan buku yang
kupegang.
Melihat
tidak ada respon dariku, Zedd bertanya sekali lagi.
“Ada apa
denganmu?”
Aku
masih enggan menjawabnya.
Zeddpun
merasa kesal, ia menarik buku yang kupegang.
“Hei!”
Ia
menutup buku itu dan menaruhnya di meja samping.
“Aku
tidak berjalan ke perpustakaan tanpa tujuan. Aku melihatmu acuh padaku hari
ini, aku bertanya 2 kali ada apa denganmu, dan kau tidak menjawab pertanyaanku,
sepatah kata apapun.”
Aku
memberengut.
“Kenapa,
apa aku melakukan hal salah?”
Aku berusaha
menarik buku yang di ambil oleh Zedd, namun Zedd segera mengambilnya.
Aku
mendengus pelan
“Tidak.
Kau tidak berbuat salah.”
“Lalu
mengapa kau tampak kesal padaku?”
“Benarkah
itu?”
“Ya, aku
yakin.” Zedd menatapku dengan lebih lagi
Aku
menarik nafas dalam sebelum aku tidak bisa mengendalikan diri, tapi aku
bertanya-tanya pada diriku sendiri, mengapa aku kesal pada Zedd? Zedd bukan
siapa-siapaku, bahkan aku belum yakin dia temanku.
“Kau
membingungkan.” Ujarku singkat
Zedd
nampak kebingungan, namun aku tidak tertarik menjelaskan lebih lanjut.
Bel
kelas berbunyi lagi.
Dan
hatiku sangat lega, aku tidak perlu menjelaskan apapun pada Zedd.
***
“Aku
tidak bisa pulang bersamamu, aku minta maaf, Lue menjebakku untuk mengikuti
latihan drama musim semi. Kau tahu kan aku benci ini, tapi apa boleh buat.” Al
duduk di hadapanku sambil memohon maaf dariku.
“Untuk
apa kau minta maaf. Aku bukan anak kecil, aku sering pulang sendiri.”
“Baiklah,
aku pergi dulu ya.”
Kuanggukkan
kepalaku, dan Alpun pergi.
“Mau
kuantar?”
Zedd.
Ia
selalu datang di saat yang tidak terduga.
“Tidak.”
Aku
tidak ingin menunjukkan rumahku pada Zedd. Namun Zedd nampak masih ingin
berargumen denganku.
“Norin.
Kau sudah merugikanku.”
Aku
menatapnya dengan aneh, merugikan apa?
“Merugikanmu
dalam hal apa?”
“Kau
tidak melirik dan berkata-kata apapun padaku hari ini, aku merasa sangat
dirugikan.”
Ada tawa
yang ingin kulepaskan, aku merasa ada yang aneh.
“Lalu
apa yang harus kulakukan.”
Zedd
menarik tanganku. Zedd membawaku ke parkiran sekolah, ia menaiki mobilnya dan
ia memerintahkanku untuk masuk dalam mobilnya.
Dan kami
pergi dari lingkungan sekolah.
Zedd
menyetir mobilnya dan berhenti di depan kedai ice cream.
Ini
kedai ice cream kesukaanku, karena ibuku sering membawaku ke sini.
“Ini
kedai ice cream kesukaanku dan ibukku jika berkunjung ke Genoa.”
Tempat
ini juga tempat langganannya?
“Kalau
begitu sama.” Balasku
Zedd
menatapku dan tertawa, akupun ikut tersenyum, namun senyumku segera kuhilangkan
agar tampak masih seperti kesal padanya.
Kami
memasuki kedai itu, memesan ice cream.
Saat
kukeluarkan dompetku, Zedd mengeluarkan dompetnya juga dan membayar semua ice
cream yang kami pesan.
“Terimakasih”
ucapku
Zedd
hanya tersenyum
Kami
duduk di bangku yang tersedia, aku melihat ke arah jendela, salju mulai turun
lagi.
“Bukankah
kita bodoh, di luar dingin namun kita menyantap ice cream.” Aku membuka obrolan
kami
“Yah
pada awalnya, namun ice cream akan membuat kita hangat kemudian.”
“Ya aku
pernah baca faktanya.”
Zedd
tersenyum, ia membuka mantel yang dipakainya. Kedai ini terasa hangat karena di
pasang tungku perapian juga.
“Jadi,
jelaskan padaku, kenapa aku membingungkan? Aku butuh penjelasan untuk itu.”
“Tidak
ada penjelasan.”
“Aku
akan memenjarakanmu.”
“Apa!”
“Maka
dari itu jawab pertanyaanku.”
Aku
masih tidak ingin menjawab pertanyaan Zedd, aku memakan ice cream yang ada di
depanku
“Makan
ice cream mu sebelum mencair.” Aku menyuruh Zedd untuk memakan ice creamnya dan
mengalihkan pembicaraan ke topik lain.
Namun
Zedd tetap diam
“Kau yang
membuatku bingung.”
“Ha?”
“Kau
marah padaku karena aku mengajak Al belajar bersama?”
Astaga.
Dia memang penyihir sekaligus cenayang.
“Tidak.
Kau bisa lihatkan, tadi pagi aku datang bersama Al.” Jawabku cepat
“Kau
tidak perlu marah dengan Al, kau kesal padaku, bukan dengan Al.”
Aku
mulai gila dan akupun terdiam.
“Kau
tidak dapat menjawabku?”
Aku
tetap diam
“Nadamu
meninggi saat kuberi tahu bahwa aku ada di rumah Al, ekspresimu sangat tidak
karuan saat aku mengajak Al berangkat bersama, dan kau bergumam pelan saat Al
datang bergabung untuk belajar bersama?”
“Kau sok
tahu.”
“Bagian
mana?”
“Semua.”
“Bagaimana
kalau aku berkata, mengapa kau marah? Aku bukan siapa-siapamu?”
Aku
menggebrakkan sendok yang kupegang
“Kau
mengajakku ke sini untuk menginterogasiku? Apa hakmu?”
“Lalu
apa? Kau tidak bercerita, maka dari itu aku berspekulasi. Ceritakan, maka aku
akan mendengarkan dan memahami.”
Aku
mengambil tas dan berdiri. Namun aku tidak secepat itu, Zedd meraih tanganku
dan aku dipaksa duduk. Ia mengambil kursi dan duduk di sampingku persis,
sehingga menutupi jalanku keluar.
“Apa aku
temanmu?”
Zedd
sungguh cerdas, ia mampu mengendalikan situasi
“Kau
sudah tidak takut untuk berteman?” lanjutnya
Zedd
masih memegangi tanganku dengan kuat
“Mengapa
kau tidak bisa percaya sepenuhnya kepadaku jika aku temanmu? Kau mau aku
mencari tahu sendiri?”
Zedd
membuat pipiku panas. Ia sungguh kuat dibandingkan aku. Aku tidak bisa apa-apa,
karena ia memang cerdas menguasai apa yang sedang ia lakukan.
“Aku
pernah berkata, menjadi temanku itu perihal mudah. Karena teman bisa mengatakan
hal baik di depan namun hal buruk di belakang. Namun untuk menjadi orang yang
masuk ke dalam kehidupanku, itu akan sulit. Sekarang lepaskan tanganku.”
Zedd
melepaskan tangannya, dan menarik nafas.
“Aku tertarik
padamu.”
“Hah.
Kau pernah mengatakan hal yang sama. Kau tertarik menjadi temanku?”
“Tidak
lagi.”
Aku
menatapnya dengan aneh dan sekarang aku sangat kebingungan.
“Apakah
kau kenal dengan sebutan love at the
first sight?”
Hal itu mengagetkanku, apa-apa an ini .
Jantungku berdegup kencang
“Aku
tidak suka berteman.”
“Berteman
membosankan. Saat aku melihatmu pertama kali,itu bukan di dalam kelas namun di
parkiran sekolah.”
Aku
mencoba mengingat-ingat hal apa yang aku lakukan
“Akan
kubantu untuk mengingatnya. Kau membersihkan salju di parkiran sekolah, seorang
diri.”
Ah! Aku
mengingatnya, aku berangkat bersama Al pagi-pagi sekali karena aku tidak
memiliki perkerjaan di sekolah aku memutuskan untuk membersihkan salju di
parkiran sekolah.
“Lalu
aku sangat kebingungan, siapa dirimu. Wajahmu nampak tidak asing walaupun kau
memakai mantel yang cukup tebal.”
Hatikupun
berkata , “itu hal yang sama, yang kupikirkan saat aku melihat wajahmu, wajahmu
tidak asing.”
“Lalu
aku masuk ke kelas. Dan betapa terkejutnya aku, karena mendapatkan kelas yang
sama denganmu. Lalu aku menghampirimu, kau bersama Al bertanya di mana kantin ,
aku bertanya apakah aku bisa menjadi temanmu, ya sebenarnya itu hanya sebuah
cara untuk mengetahui siapa dirimu, tapi ternyata kau tidak menggubrisnya
dengan baik.”
Aku
ingat saat itu.
“Aku
melihatmu di perpustakaan bersama Al, mendengarkan pembicaraanmu dan aku
berspekulasi banyak hal. Dan asalkan kau tahu? Apa yang kudengarkan membuatku
jauh lebih penasaran dengan dirimu”
Ia
menarik nafasnya, dan melanjutkan perkataannya lagi
“Aku
senang bisa mendapatkan nomor telfonmu, ya.... walaupun itu hanya telfon rumah.
Namun aku paham, kau juga tidak bisa memberikan nomor ponselmu kepada orang
yang baru beberapa hari kau kenal bukan?”
Hatiku
seperti tertampar, sebenarnya bukan itu alasan mengapa aku tidak memberikan
nomor ponsel, karena memang aku tidak memiliki ponsel.
“Dan aku
senang karena bisa belajar bersamamu. Percayalah, kau itu anak yang pandai.” Ia
tersenyum memandangku
Dan aku
membeku seketika
“Aku
sudah mengutarakan apa yang aku pikirkan selama ini. Kau tidak perlu menjawab
apapun. Aku tertarik padamu, dan hal yang terpenting adalah, aku tidak akan
menjadikan dirimu tertarik juga padaku, aku hanya ingin, kau percaya padaku.”
Aku
menghembuskan nafas yang sedari tadi ku tahan
“Aku
akan berusaha.”
Itulah
kalimat terakhir Zedd, yang mampu mebuatku tersenyum, melihat aku
tersenyum Zedd nampak senang.
“Aku
bukan tidak percaya padamu. Aku hanya sedang berusaha keluar dari dalam diriku
sendiri.”
Zedd
menganggukkan kepalanya. Ia kembali duduk di posisinya semula.
“Ice
cream ini nampak tidak enak di padang lagi. Ayo pergi dari sini!”
Zedd
memberengus dan mengajakku pergi ke tempat lain
“Tapi
harga ice cream ini cukup mahal.”
“Siapa
peduli. Ayo!”
Zedd
memakai mantelnya kembali dan menarik tanganku keluar.
Kita
pergi bersama sepanjang hari, Zedd mengajak ku ke taman kota Genoa, dan ke
pusat perbelanjaan di Genoa. Ternyata Zedd lebih mengerti Genoa dari pada aku.
Sampai
pada akhirnya waktu menunjukkan pukul stengah 6 sore. Dan aku harus segera
pulang, Zedd mengerti dan selalu paham kondisiku.
“Kau mau
ku antar ke rumah atau tempat lain.”
Aku
tersenyum pada Zedd. Baru aku ingat , bahwa aku harus kerja part time di Via
Luigi Resto.
“Kau mau
mengantarku ke Via Luigi Resto?”
“Baiklah
kau sebagai penunjuk jalan.”
“Baiklah.”
***
Hari-hariku
semakin menyenangkan dimulai sejak hari itu, saat Zedd berkata bahwa ia
tertarik padaku. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Tapi tidak ada satupun
orang yang menyadari itu termasuk Al. Aku tidak berniat untuk melawan
perasaanku lagi, jika hidupku cacat semenjak awal aku akan menerimanya, jika
hidupku melelahkan sejak awal aku akan selalu menerimanaya. Namun jika ada
sedikit saja kebahagiaan di tawarkan aku akan mengambilnya. Aku mencoba
mengatakan iya jika memang iya, dan mengatakan tidak jika tidak. Hatiku tidak
seharusnya hancur, otakku tidak seharusnya menjadi robot pesuruh, dan ototku
tidak seharusnya keras seperti baja. Aku berusaha untuk melakukan yang terbaik,
dimulai dari Zedd yang ingin aku percaya pada diriku sendiri sebelum memercayakan
diriku pada orang lain.
Bagaimana cara Tuhan menciptakan pria seperti
Zedd? Dia selalu memahami walaupun tidak diminta, selalu memberi walaupun tidak
ada orang yang meminta, selalu ingin menjadi tanah untuk menangkap orang-orang
yang akan jatuh. Sikapnya sopan, bertalenta, dan cerdas. Mudah beradaptasi dan tampan,
dia selalu baik untuk di deskripsikan.
Sudah 3
bulan Zedd menetap di Genoa. Dan aku menjadi lebih tahu tentang dia, tapi tetap
saja, Zedd tidak pernah memaksaku untuk menceritakan apapun tentang diriku.
Bahkan hingga sekarang ia tak tahu di mana aku tinggal.
Aku
bersyukur mengenalnya. Aku bersyukur memiliki dia.
***
Aku baru
saja pulang dari Via Luigi Resto, badanku terasa amat pegal. Baru saja aku
merebahkan diri. Lalu seseorang mengetuk pintu flatku.
“Norin
buka pintumu.”
Aldira.
“Sebentar.”
Aku
bangun dan merapikan rambut dan bajuku.
Kubukakan
pintu flatku untuk Al.
“Fyuuuh.
Syndrome musim semi. Haha”
“Mengapa
kau datang ke flatku malam-malam Al?”
Al
memasuki flatku dan duduk di kasurku.
“Aku tak
tahu, namun aku membawa ini.”
Ia mengeluarkan
beberapa lembar kertas yang tertekuk-tekuk.
“Ini
dialogueku untuk pementasan besok, aku sungguh gugup , aku ingin menghafalkannya di sini. Bolehkan? Aku tidak akan
berisik, aku janji.”
Iya
benar, Al akan pentas besok. Ia sudah berlatih dengan baik selama 3 bulan ini.
Dan aku akan mendukungnya.
“Baiklah,
tentu boleh, tapi aku mau mandi dulu. Kau boleh mengambil apapun yang kau mau
di sini.”
Al
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Aku
segera masuk ke kamar mandi. Setelah aku keluar dari kamar mandi aku melihat Al
sedang membaca dialoguenya dengan sangat serius. Aku menuju sisi timur flatku
untuk membuatkan Al susu panas.
“Ini
untukmu.”
Aku
menyodorkan segelas susu panas untuk Al.
“Ah kau
mengerti sekali! Aku boleh menginap di sini?”
“Iya
boleh.”
“Kau
memang sahabatku.” Jawab Al dan diteruskan ia meneguk sedikit susu yang ku
berikan.
“Baca
dialoguemu dengan baik, maka kau bisa mementaskan hal terbaik pula, jangan buat
aku kecewa, kau mengerti?”
“Aku
mengerti ibu.”
Aku
tertawa pelan
Lalu aku
merebahkan badan ke kasur tipis dalam flatku. Suasana hening tercipta, karena
aku terlalu lelah untuk mendahului percakapan dan Al terlalu serius untuk
memulai percakapan, maka aku membiarkan hal itu terjadi.
“Zedd.
Menurutmu dia bagaimana?”
Aku
sedikit kaget karena Al memulai percakapan dengan membahas Zedd.
“Dia
baik.”
“Ya
kurasa juga begitu.”
“Mengapa
kau bertanya tentang Zedd?”
“Entah.
Mungkin karena aku menyukainya.”
Mataku
terbuka lebar. Jiwaku tersentak kaget, dan segala dalam tubuhku tidak berjalan
normal. Al menyukai Zedd?
“Sejak
kapan?”
“Sejak
dia memperkenalkan diri, kau kenal istilah love
at the first sight? Mungkin seperti itu.”
“Lalu
kamu mau apa dengan Zedd?”
“Aku
akan berusaha mendapatkannya.”
Apa!
“Kau
bercanda?”
“Untuk
apa aku bercanda Nor.”
Aku
segera duduk dan menghadap ke arah Al
“Kau
baru 6 bulan putus hubungan dengan Rexy dan sekarang kau ingin mendapatkan
orang lain?”
Kata-kata
itu keluar begitu saja
“Adakah
yang salah?”
Aku
menyadari bahwa tidak ada yang salah, namun orang yang ingin di dapatkan oleh
Al itu yang membuat segala sesuatunya salah.
“Kau mau
membantuku mendekati Zedd?” Al bertanya dengan nada merayu
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Aku
berkata tidak maka itu tidak. Cepat habiskan minumanmu, pelajari dialoguemu,
dan segeralah istirahat.”
“Ya
baiklah.”
Aku
tidur membelakangi Al. Aku ingin menangis seketika. Mengapa Al menyukai Zedd?
Mengapa harus sahabatku sendiri?
***
Hari ini
tidak ada kelas pagi, karena sekolah mengadakan persiapan pementasan drama
musim semi. Kelas akan dimulai pukul 2 siang nanti.
Al sudah
pulang pagi-pagi sekali, aku masih tidak bisa berkata apa-apa terhadap Al, aku
hanya memasang senyum penuh kebohonganku kepada Al.
“Norin. There’s someone his name is Zedd, he is looking for you by phone, go quickly answer it.”
Mrs.
Chloe memanggilku dari depan pintu flat.
“Thankyou Mrs.Chloe,I’ll be
there.”
Aku
merapikan pakaian dan rambutku cepat-cepat.
“Halo?”
“Kenapa
lama sekali?”
“Aku
minta maaf, Al menginap di rumahku tadi malam. Jadi aku terlambat bangun.”
“Untung
aku orang sabar.”
Aku
tertawa kecil
Aku
terdiam sejenak dan berfikir
Inilah
saatnya
“Zedd.”
“Ya?”
“Apa kau
mau datang ke rumahku?”
Tidak
ada respon apa-apa dari Zedd
“Zedd?”
“Apa kau
yakin?”
“Ya.”
“Baiklah,
di mana alamatnya?”
***
Aku
menunggu Zedd di luar gedung yang aku tinggali. Aku merasa ini waktu yang tepat
untuk menceritakan segala sesuatu padanya.
Mobil
merah Zedd datang. Aku menarik nafas dalam dan menghampirinya.
“Hai.”
Sapaku lembut
“Kau
sudah bisa percaya padaku?”
“Aku
tidak pernah bilang bahwa aku tidak percaya padamu bukan?”
“Entahlah.”
Aku
benar-benar gugup sekarang
Aku
meraih tangan Zedd dan membawanya ke flatku
Flatku
memang kecil, tidak ada ruang tamu, namun cukup nyaman. Ibuku yang menatanya
sehingga terlihat lebih luas.
Zedd
hanya diam tanpa berkata-kata apapun. Dan aku kesulitan untuk menebak isi
hatinya.
“Kau mau
berkata-kata sesuatu?” aku membuka pembicaraan
“Bisa
kita duduk?”
“Ya.”
Jawabku
Zedd
melihat ruangan flatku dengan seksama. Ia mengambil nafas dan bersiap
mengatakan sesuatu. Aku sungguh khawatir ia akan memakiku.
“Kau
berbohong padaku?” kata-kata itu keluar dari mulut Zedd. Hanya 3 kata, namun
tajam dan menggoresku sangat dalam
“Kau
berkata kau tidak akan meninggalkanku.” Jawabku padanya
“Ya.
Namun tidak untuk berbohong.”
Aku
merasakan tubuhku bergoncang, ketakutan terbesarku akan segera melenyapkanku.
Aku ingin menangis.
Zedd
menggeleng-gelengkan kepala
“Apa
yang mampu kau jelaskan? Norin Isabel Wensley?”
Aku
mulai menangis
“Berhenti menangis dan katakan sesuatu!!” aku
merasakan bahwa Zedd ikut bergoncang, ada nada kecewa di dalam kata-katanya.
“Aku
mengatakan bahwa, kau harus mempercayai dirimu sendiri baru kau dapat
mempercayakan dirimu? Kau lupa? Lalu jika seperti ini apa kau sudah percaya
pada dirimu sendiri!”
Seketika
aku merasa ada tembok besar yang menghalangi kami berdua
Aku
menarik nafas yang panjang dan dalam
“Ibuku
meninggal 4 tahun yang lalu. Aku tidak punya Ayah, Ibuku melarikan diri dari
rumah Ayahku, karena aku anak di luar pernikahan.”
Aku
menarik nafas di sela-sela tangisanku
“Ibu
tidak... Ibu tidak bercerita apapun tentang Ayah. Sampai sekarang aku tak tahu
Ayahku siapa dan tinggal dimana. Aku menetap di sini sepanjang hidupku.
Semenjak ibuku tiada aku tidak pernah membuka diri terhadap siapapun kecuali
Al. Aku mendapat beasiswa 2 tahun yang lalu, namun itu semua tidak cukup untuk
membiayai hidupku. Aku bekerja part time di Twist Resto sebagai cashier dan penyanyi di Via Luigi Resto.
Aku memaksa otakku untuk dapat belajar dengan baik, karena itulah satu-satunya
yang mampu kulakukan, aku harus lulus dengan baik.”
Aku
menarik nafasku kembali, aku berbicara sambil terisak-isak
“Aku
tidak memiliki siapapun selain Al. Dan akhirnya kau datang, aku merasa memiliki
orang lain selain Al yang dapat kukasihi sepenuh hatiku. Aku tidak berniat
membohongimu, karena itu akan percuma, aku tahu hari ini akan terjadi. Sungguh.
Aku selalu takut jika akan berakhir seperti ini. Aku minta maaf.”
Nafasku
tersengal-sengal, aku menarik nafas dalam. Dan memasrahkan hatiku pada Zedd.
Aku tidak tahu apapun yang akan dia lakukan, namun aku menyiapkan diri untuk
kemungkinan terburuk, ditinggalkan.
Aku tidak
berani menatap Zedd. Namun Zedd tetap diam. Aku semakin yakin ia akan
meninggalkanku.
“Kau
anak bodoh.” Itulah kata-kata Zedd
Aku
merasa jantungku mau terlepas.
Zedd
meraih tanganku, lalu ia menarikku dalam pelukannya. Aku jatuh dalam
pelukannya.
Aku semakin
gugup. Karena tidak ada satupun kelegaan yang kurasakan, aku berfikir bahwa ini
pelukan terakhir dari Zedd, sebelum ia meninggalkanku.
“Kau
masih meragukan bahwa aku akan meninggalkanmu?”
“Aku
tidak pernah mengingkari janji.”
Zedd
melepaskan aku dari pelukannya, namun tidak melepaskan tanganku dari
genggamannya.
“Aku
tidak akan pergi. Aku berkata kau bodoh , karena kau memang bodoh, kau baru 17
tahun dan membahayakan dirimu dalam lingkar kekelaman. Membiarkan dirimu
terkungkung kesedihan dan tidak membuka diri untuk siapapun? Kau pikir kau
sehebat apa? Mencoba menggembleng otakmu agar bisa mendapatkan kedudukan tinggi
di kelas? Membiarkan dirimu bekerja keras untuk mencari sesuap makanan,
sementara tidak ada satupun orang yang paham kondisi dan situasimu?”
Aku
memberengut kesal
“Kau
terlalu muda untuk bersedih. Jika kau tidak ingin orang lain mengerti masa
lalumu, setidaknya biarkan mereka menjadi temanmu. Kau sungguh, kau bodoh.”
Zedd melepaskan
genggamannya, dan menghapus air mataku.
“Dibalik
kebodohanmu, kau jauh lebih hebat daripada Zedd Dimitri Brown.”
Zedd
memberikan senyuman terbaiknya padaku, aku merasakan bahwa tidak ada satupun
beban di atas pundakku. Aku tersenyum karena aku bahagia.
“Aku
mencintaimu Norin.”
Kali ini
hatiku sangat ringan, aku bahagia, aku senang, dan tidak ada satupun yang
mematahkan hal itu.
“Aku
juga mencintaimu Zedd.”
***
Seluruh
orang di dalam aula sekolah bertepuk tangan dengan meriah. Al dan teman-teman
memang sungguh memberikan pertunjukkan terbaik malam ini. Pertunjukkan musim
semi yang indah.
Zedd
juga memberikan tepuk tangan yang meriah. Kami duduk bersama di barisan kursi
tengah.
Semua
orang langsung menyerbu pemain drama. Akupun juga begitu, aku segera
menghampiri Al. Zedd juga ikut menghampiri Al.
“Lihat
dirimu! Kau mengagumkan!” seruku pada Al. Aku memeluk Al erat dan Al membalas
pelukanku.
“Aku
bahagia sekali.” Respon Al
Kulepasakan
pelukanku dan aku tersenyum pada Al. Aku mengagumi Al dalam hal seni, ia memang
dialiri bakat seni oleh Ayahnya yang seorang arsitek.
“Kau
mengagumkan Al.” Zedd menyalami Al, namun hal aneh terjadi. Al tidak menjawab
Zedd, ia menyambut salam dari Zedd dan menarik Zedd dalam pelukannya.
Kau
gila! Sentakku dalam hati.
Al
memeluk Zedd lama dan Zedd tidak menarik dirinya sama sekali.Aku kesal melihat
adegan seperti, aku menginjak sepatu Zedd. Dan berkata.
“Al
kuajak kau makan, namun kali ini aku yang traktir.”
Al
melepaskan pelukannya. Aku menggigit bibir sebagai tanda bahwa aku sangat
kesal.
“Ayo!”
***
“Tidak
kusangka kau memang berbakat dalam acting.” Kami sedang berada di restoran
dekat dengan sekolah. Aku, Al, dan Zedd.
“Kau
menyebalkan.” Sahut Al, sambil menyendok pastanya.
“Tapi
kau memang berbakat.”
Zedd
menyambungnya.
“Benarkah?”
jawab Al dengan sangat gembira dan riang.
Perasaanku
mulai terganggu. Mungkin ini disebabkan karena aku dan Zedd sudah memiliki
status yang resmi.
“Ya.”
Jawab Zedd singkat.
Aku
mulai kesal dan merasa ini tidak benar dan tidak baik.
“Zedd,
bisa kita bicara sebentar. Di luar, kau tidak apa-apakan Al jika kami tinggal
sebentar saja.” Aku meminta tapi tidak menunggu respon apapu, aku meninggalkan
tempatku yang semula dengan begitu saja, sehingga aku tidak dapat melihat
ekspressi Zedd maupun Al.
“Jangan
menghancurkan ini.” Zedd melangkahi aku untuk mengatakan sesuatu
“Menghancurkan
apa?”
“Persahabatanmu
dan Al.”
Aku
merasa aneh dengan kata-kata Zedd. Aku tentu tidak mau merusak apapun, terutama
persahabatanku dengan Al.
“Apa
yang membuatmu berpikir seperti itu?”
Zedd
nampak kebingungan untuk menjawab pertanyaanku.Lalu ia menarik nafas.
“Jangan
cemburu dengan sahabatmu, jangan kesal dengan sahabatmu.”
Oh hanya
itu jawabannya.
“Kau
kira aku kesal pada Al? Tidak! Aku kesal pada kondisi ini. Jika kau kutanyai
hal seperti ini, kau akan menjawabnya atau tidak?”
Aku
mengambil nafas sejenak.
“Apakah
kau tahu Al juga menyukaimu?”
Zedd
nampak terkejut, namun ia tetap diam.
“Hah.
Kau tidak tahu. Hei..... tunggu dulu. Mengapa kau tidak tahu perasaan Al, kau
itukan cenayang, kau tahu segalanya. Sama seperti saat kau berasumsi terhadapku
dan kau mengetahui perasaan-perasaanku walaupun aku tidak memberitahukannya!?”
“Kau
tidak memberitahuku apa-apa.” Respon Zedd begitu memalukan, itu bukan respon
yang kuinginkan.
“Apa aku
perlu memberitahumu?”
“Jika
kau mengasihi Al, ya kau perlu.”
Zedd
melangkahkan kakinya satu langkah lebih dekat.
“Kau
memang benar-benar bodoh. Bisa kau bayangkan jika kau memberitahuku bahwa Al
menyukaiku? Aku akan segera menghentikannya. Aku tidak suka menyakiti hati
wanita dalam-dalam. Lebih baik ia kuhentikan sebelum ia semakin menjadi-jadi.
Jika aku salah, katakan sesuatu.”
“Bagaimana
caraku memberitahumu? Al baru mengutarakan persaan yang dipendamnya tadi
malam.” Itulah bisikan hatiku. Tapi aku tetap diam agar Zedd melanjutkan
perkataannya.
“Baiklah.
Kurasa aku tidak salah. Satu lagi, tentang aku yang dapat berasumsi padamu dan
mengetahui perasaan-perasaanmu tanpa kau memberitahuku, aku tidak tahu. Mungkin
karena aku mencintaimu, dan aku tidak mencintai Al.”
“Apa-apaan
ini!”
Jantungku
seperti mau terlepas.
Aku dan Zedd menoleh ke arah datangnya suara.
Al sudah ada di sana, sekitar 3 meter dari kami.
Aku
tidak mau kehilangan Al, aku tidak mau kehilangan Zedd. Aku kebingungan, aku
malu menatap Al.
Al
melangkah mendekati kami berdua. Rasanya seperti aku mau bertelut di depan Al,
dan memohon jangan meninggalkan aku.
“Kau mau
memelukku sekarang Norin?” Kata-kata itu keluar dari mulut Al. Ia
mengucapkannya dengan nada yang kasar dan tinggi.
“Kau mau
memelukku agar kau bisa mencabikku dengan leluasa??! Aaaah, seharusnya aku
tahu. Saat aku bertanya bahwa, apakah Zedd tampan kau langsung menjawab tidak.
Kupikir kau tidak akan berubah pikiran Nor.”
Al mulai
menangis.
Akupun
ikut menangis.
“Kau mau
menjelaskan hal yang tidak kuketahui sebelumnya, atau kau mau menamparku
sekarang!! Jawab aku!!”
Tangisan
Al pecah. Aku tidak pernah melihat Al menangis seperti ini, aku sudah tidak
memperdulikan keberadaan Zedd.
“Aku......
aku minta maaf.”
Aku
kebingungan sekarang, aku kebingungan, aku sangat kebingungan! Aku tidak
memiliki siapapun selain 2 orang yang ada di depanku ini. Al begitu kukasihi,
dan Zedd begitu berharga.
“Dan kau
Zedd. Mengapa kau tidak menghargai usahaku!! Kau tidak mengerti apapun dengan yang
kulakukan padamu hah?”
Aku
bertelut di kaki Al. Zedd memegangiku namun kulepaskan tangannya.
“Aku mencintainya
Al. Aku mencintainya.”
Al dan
Zedd tidak berkata-kata apapun
“Aku
tidak ingin kehilangan apapun, terutama kau. Jika kau tidak bisa memiliki Zedd
akupun juga begitu.”
Zedd
sangat kaget, namun Al tertawa.
“Kau
paham apa yang kau maksud Norin! Tarik kembali ucapanmu!!” Zedd membentak
padaku
“Jangan
membentakiku!!!” Aku balas meneriakinya
Al
tertawa dengan penuh penghinaan.
“Bangun
Nor. Bangun!” Al menarik tanganku dengan kasar agar dapat berdiri
Aku berdiri dengan kaki timpang
Setelah
aku dapat berdiri dengan baik
Plak!
Al
menamparku. Aku memegangi pipi yang menjadi sasaran tamparan Al, dan aku
berkata pada diri sendiri bahwa aku kehilangan Al.
Zedd
memegangi tangan Al dengan gemetar.
“Kau
pikir kau siapa? Gunakan tanganmu untuk memberi bukan menyakiti!” Zedd memarahi
Al
“Zedd
lepaskan tangan Al. Sekarang!”
Al
menyeringai
“Kau
tidak akan kehilangan aku Norin, aku tidak akan kemana-mana, seterusnya, dan
selamanya. Namun yang kukhawatirkan adalah dirimu, bahwa kau yang akan
meninggalkan aku. Aku menamparmu karena aku ingin menunjukkan padamu rasa
sakitku yang sekarang. Kau tahu? Akulah yang berbuat salah. Aku mencintai
kekasih sahabatku. Wah, itu kedengaran sangat kejam, bukan begitu?”
Al
berhenti untuk menarik nafas panjang di tengah tangisannya
“
Biarkan aku sendiri.Jangan cari aku, jika kau mencari aku, aku akan
meninggalkanmu. Tetaplah bersama Zedd, jangan tinggalkan dia karena kau merasa
tidak enak denganku, kau tahu kenapa? karena dia cahaya kegelapanmu, benar
begitu?”
Al
bernafas sejenak
“ Aku
akan pergi.”
Al
melangkah menjauh dari kami. Tangisanku pecah, aku berteriak untuk memanggil
nama Al, namun ia tidak berbalik badan atau meresponku.
Aku
merusak hatinya, bahkan saat hatinya rusak, ia masih memperdulikan aku agar
tetap bersama Zedd. Aku merasa rendah dan hina.
***
“Al ada
di rumah?”
Aku
menelfon Zedd pagi-pagi.
“Ia
pergi ke Roma untuk 3 hari kata penjaga rumahnya.”
Roma?
Aku sudah tidak bertemu dengan Al 1 minggu, dia bolos sekolah dan sekarang aku
harus menunggu 3 hari lagi. Aku mencari Al hanya diam-diam, bertanya kabarnya
dari Zedd atau Mr.Jo penjaga rumahnya, aku juga takut jika aku mencarinya dan
menemuinya aku akan ditinggalkan.
“Zedd.”
“Ya.”
“Apa
menurutmu aku teman yang hina?”
Terdengar
Zedd menghembuskan nafasnya. Aku tertekan sekarang.
“Kau
mengomentari dirimu sendiri, lagi.”
“Aku
merasa tidak pantas.”
“Usahakanlah
agar semua menjadi pantas kembali.”
“Apa
masih bisa?”
“Entahlah.
Tapi kau bisa mengubahnya. Al terlalu percaya pada dirimu maka kau harus
percaya pada dirimu juga.”
“Cinta
tidak pernah salah, ia salah ketika menyakiti orang lain. Karena itu dimensi
lain, yang harus dipertanggung jawabkan.”
“Aku
akan berusaha semaksimal mungkin. Aku tutup dulu telfonnya, jaga dirimu
baik-baik.”
“Terimakasih
Zedd.”
***
Aku
merasa kesal, karena aku terus bertanya-tanya kapan Al akan menghubungiku. Aku
tidak mau salah bertindak, aku kesal dan lelah. Aku berputar pada lingkaran
yang kubuat sendiri, aku lelah.
Seseorang
mengetuk pintu flatku, aku membukakan pintu untuknya.
“Norin, there’s someone looking
for you. At the first floor.”
“Yes Mrs.Chloe, i got it.”
Aku
tersenyum pada Mrs.Chloe, dan bergegas turun ke lantai satu.
Al.
“Duduklah.”
Al menyuruhku untuk duduk di kursi yang sudah ada
Aku
tidak tertarik untuk membuka percakapan karena aku terlalu takut
“Kau
pasti tahu kalau aku pergi ke Roma. Apakah kau mau tahu yang aku dapatkan di
Roma?”
Aku
menganggukkan kepala
“Cinta
dan persahabatan. Persahabatan itu indah, kasih tanpa kompromi. Cinta itu 2
sisi, ia bisa memaksamu untuk jatuh dalamnya jika kau berusaha menolak atau
melarikan diri. Namun 2 hal itu menarik.” Ia menghentikan kata-katanya
“Bukankah
aku sahabatmu Nor?”
Aku
menganggukkan kepala
“Aku
tidak sakit hati padamu Norin. Akulah yang tidak pandai membaca keadaan.”
Aku
menggelengkan kepala
“Ya
tentu, aku tidak pandai membaca keadaan. Keadaan bahwa kau juga menyukainya.
Dan aku...”
Al
menarik nafasnya
“Aku
akan berhenti untukmu. Aku berhenti menyukai Zedd untuk selamanya.”
Aku
terkejut dengan kata-kata Al.
“Jika
aku sudah berakata seperti ini, kau tentunya tidak boleh berhenti untuk
mencintai Zedd. Jika kau berfikir sedikit saja untuk berhenti mencintainya, aku
akan merebut posisimu. Dan kau tidak perlu takut, aku tidak akan kemana-mana,
walaupun kau meninggalkanku, aku tidak akan kemana-mana dan aku akan menunggumu
pulang, untuk berbagi keceriaan dan kesedihan bersamaku lagi.”
Aku
mulai menangis lagi
“Hentikan.
Aku datang kesini tidak untuk segala macam bentuk tangisan.”
Aku
tertawa dan aku bahagia. Al adalah mutiara, ia selalu bersinar dalam hal
apapun. Aku mendekat pada Al dan memeluknya.
“Terimakasih.
Terimakasih.” Bisikku pada Al.
***
“Apa kau
siap?”
Hari ini
Zedd mengajakku untuk bertemu keluarganya. Aku sangat gugup. Aku tidak
membayangkan jika aku tidak di terima oleh keluarga Zedd, melihat masa lalu dan
kehidupanku yang sekarang, aku tidak yakin aku akan mendapatkan tempat di dalam
keluarga Brown.
“Tidak.
Tapi aku akan berusaha.”
Zedd
menggandeng tanganku memasuki halaman rumahnya. Rumahnya sangat besar, terdapat
taman dan air mancur di tengah-tengahnya. Penjaga rumah Zedd juga sangat
banyak, mereka berpakaian seragam rapi dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Saat aku
memasuki rumahnya. Pilar-pilar tinggi menyambutku. 2 tangga yang sangat besar
juga ikut memberi sapaan padaku. Jendela besar, penerangan yang ajaib, dan
koleksi guci-guci dari seluruh dunia membuatku ingin muntah.
Nampaknya
Zedd mengerti jika aku gugup. Ia menggandeng tanganku lebih erat lagi.
“Jangan
gugup, kecantikanmu akan hilang.”
Aku
berusaha mengatur nafas. Dan sampailah kami ke dalam ruangan yang cukup besar.
Ruang kantor Ayah Zedd. Seorang paruh baya nampak sudah menunggu kami berdua. Ada
2 orang penjaga lagi di dalam ruangan, 1 pria dan 1 wanita. Itu melegakanku
sehingga aku tidak terlalu gugup bahwa akulah satu-satunya wanita di sini.
Pria itu
nampak mirip dengan Zedd. Ia rapi dan tampak berwibawa.
“Silakan
duduk.” Ia mempersilakan kami berdua untuk duduk.
“Jadi
ini pertama kalinya Zedd membawa wanita ke hadapanku.”
Aku
melihat ke arah wajah Zedd. Zedd berlagak polos. Namun aku merasa istimewa
dapat menjadi yang pertama.
“Perkenalkan
dirimu?”
“Saya
Norin sir.”
“Norin?
Nama yang unik.”
Akupun
tersenyum, ini lebih melegakan dari pada sebelumnya.
“Saya
teman sekelas Zedd.”
“Dia
anak yang pintar Ayah.”
Aku
menepuk pelan tangan Zedd
“Saya
masih belajar.”
Ayah
Zedd mengangguk-anggukkan kepala dengan tersenyum.
“Oh ya,
siapa nama lengkapmu?”
“Norin
Isabel Wensley.”
Pria itu
nampak terkejut dan memajukan posisi duduknya
“Siapa?”
katanya
“Nor..”
“Bukan.
Nama belakangmu..”
“Wensley.”
Ayah
Zedd bangun dan berdiri, membalikkan badannya membelakangi kami, aku dan Zedd
ikut berdiri.
“Ada apa
Ayah?”
“Ibumu
Stephani Wensley.”
Mataku
terbelalak kaget. Ibu memiliki sedikit kolega dalam hidupnya, apalagi seperti
Ayah Zedd, pemilik perusahaan berlian besar.
“Iya.”
Zedd
juga nampak bingung.
“Kau
tinggal di mana sekarang?”
“Saya
tinggal di daerah Via Siria.”
Pria itu
membalikkan badannya. Lalu berbicara menghadap Zedd
“Zedd
kita bisa pulang ke Manchester.”
Zedd
sangat tersentak. Ia melangkah mendekati Ayahnya. Aku merasa tidak ada yang
beres sekarang.
“Apa
maksud Ayah?”
“Kau
ingat? Kita datang ke Genoa untuk urusan keluarga? Urusan keluarga kita sudah
selesai.”
Pria itu
melangkah mendekatiku. Aku sungguh takut sekarang. Ia berhadapan denganku ,
lalu memegang bahuku dan bersiap mengatakan sesuatu.
“Ayah
menemukanmu.”
AYAH!!?
Ayah
apa?
“Ayah
datang ke Genoa, karena menemukan petunjuk dari ibumu. Ia memang tidak pandai
melarikan diri. Ayah sangat menyesal karena tidak dapat melihat tumbuh
kembangmu, sekarang kau pasti berumur 17 tahun. Ya, kau memang beda 2 tahun
dari kakakmu, Zedd.”
KAKAK!!!?
KAU
GILA?!?
Aku
melepaskan tangan pria itu dari bahuku.
Aku
hanya melihat tepat dimata pria itu. Dunia seakan berhenti berputar. Mata itu,
mata pria itu sangat mirip dengan Zedd, mata itu juga mata yang sama denganku!
Itu mengapa aku seperti sudah mengenal Zedd sebelumnya saat ia masuk ke kelas
untuk pertama kali.
“Kau
bisa pulang bersama kami ke Manchester, Ayah senang kau di sini. Pulanglah
bersama Ayah dan kakakmu. Dan satu hal lagi. Ibumu menamakanmu Norin? Kupikir
karena dia membalik nama Ayahmu ini, namaku Rinno Alexis Brown.”
Aku
membuang nafasku, dan aku mulai menangis.
“Untuk
apa kau menangis. Kau sudah di rumah.” Kata pria itu padaku
“Kau
pikir ini rumahku? Kau muncul setelah aku berusia 17 tahun? Kau merasa pantas mengajakku pulang? Kau
membiarkan ibuku melarikan diri dari Manchester sampai Genoa seorang diri?
Membawa bayi? Kau membiarkan ibuku menangis dan berusaha sendirian? Laki-laki
macam apa dirimu?”
Aku
menoleh ke arah Zedd. Badannya bergetar hebat, aku tahu dia akan menangis.
“Kau
tahu? Aku mengusahakan hidupku seorang diri dalam 4 tahun terakhir? Aku menjadi
chasier dan penyanyi cafe. Kau tidak
merasa bersalah? Kau menghancurkan hidupku.”
Pria itu
mau memegang tanganku. Namun aku menepisnya.
“Aku
rindu ibuku!!”
Aku
menangis dengan keras, sekeras mungkin yang aku bisa. Aku meluapkan segala yang
kurasakan selama 17 tahun, aku mengingat betapa memalukannya diriku saat
ditanyai “siapa Ayahmu”. Aku ingat apa alasan terbesarku bersembunyi di balik
buku-buku belaka. Saat aku terlalu selektif memilih pertemanan, dan terkungkung
dalam penjara yang telah di buat sepanjang hidupku. Sampai pada kematian ibuku,
ibukku meninggal dengan membawa rasa malu sejak aku di lahirkan.
“Aku
ingin pulang!”
Aku
segera berdiri, menghapus air mataku dan berlari keluar, aku ingin pergi dari
neraka ini. Aku berlari dengan masih menangis.
Seseorang
menarik tanganku saat aku sudah berada di luar halaman rumah itu.
Ia
menarik tanganku dan memelukku dengan erat.
“Ini
tidak mungkin. Ayahku pasti bercanda.”
Zedd
menangis, inilah kali pertamanya aku melihat Zedd menangis.
“Kau
tidak boleh pergi, aku membutuhkanmu. Aku mencintaimu. Kita tidak ada ikatan
saudara sama sekali, percayalah. Kau mau percaya padaku, atau kepada Ayahku
yang baru saja kau temui? Kau tidak boleh pergi!!”
Kami
menangis bersama di jalan layaknya orang gila. Namun orang gila mana yang
merasakan cinta se dalam ini?
Hatiku
hancur mengetahui hal ini. Hatiku hilang lagi seperti sebelum mengenal Zedd
atau saat ibuku pergi meninggalkanku.
Dan aku
hampir gila.
“Aku
harus berbuat apa?” suaraku lirih, sangat lirih
“Jangan
pergi.”
Melihat
Zedd yang begitu hancur, rasanya seperti ingin membakar diri kami berdua. Agar
apa yang kurasakan berubah menjadi debu yang akan tertiup angin dan hilang
entah kemana.
Aku
melepaskan pelukan Zedd. Aku mau pergi, aku harus pergi. Zedd menghalangiku
untuk pergi namun aku berlari lebih kencang agar Zedd tidak bisa menghalangiku.
Aku tidak berani menoleh ke arah belakang, karena itu akan membuatku tertarik
kembali.
Dia
pelita pengharapan, yang telah padam.
***
“Zedd
kakakku, Zedd kakakku, Zedd kakakku.”
Dan aku
tertawa.
“Aku mau
minum lagi.”
Al
menarik tanganku agar aku terduduk lagi.
“Kau
gila? Kau pikir masalahmu akan selesai jika kau membuat dirimu sendiri dalam
halusinasi?”
Aku
tidak bisa berhenti tertawa
“Norin!”
Aku
menggebrak lantai flatku
“Jangan
panggil aku Norin! Panggil aku Isabel, Norin itu kejam dan jahat. Aku ingin
menghapusnya dalam kehidupanku.”
Al
terdiam.
Aku
menatap Al dengan tatapan kepasrahan
“Rasanya
seperti teriris oleh pisau belati. Sampai aku ingin berkata “berikan pisau itu
padaku, biar aku mengirs diriku sendiri.” Hahaa.. kupikir ini akan baik,
kupikir dia baik, kupikir akan membaik. Tapi Apa!”
Aku
mulai menangis lagi
“Dia
kakakku.”
“Kakak
tiriku. Anak dari orang yang paling kubenci di dunia ini. Aku harus apa Al?”
Aku
menarik nafas panjang
“Aku
sekarat.”
Aku
melihat Al mengatupkan mulutnya keras-keras.
“Aku
ingin pergi dari sini, pergi jauh dan tidak kembali.”
“Lalu
bagaimana dengan Zedd?”
“Aku
orang pertama yang tidak berani menatap wajahnya.”
“Kau
tidak kasihan padanya?”
“Aku
sudah terlalu kasihan! Dia sudah padam untukku, dia harus tetap menyala dalam
hal lain. Aku ingin pergi, jika dia mengetahui bahwa aku pergi, itu akan
menyiksaku. Aku berkencan dengan orang yang sedarah denganku? Hah! Apa aku
sudah gila?
Bantu
aku Al, aku ingin pergi.”
***
Apa yang
aku alami seperti ini.
Aku
jatuh, terkungkung, dan bangkit, lalu terjatuh lagi dan dipastikan akan
terkungkung lagi. Aku tidak tahu kapan aku akan bangkit, namun yang lebih
kupastikan adalah aku akan terjatuh lagi.
Seberat
apa itu hidup? Aku tidak menyadarinya. Aku melangkah dalam jalur yang sudah di
sediakan, wilayahnya gelap sehingga aku membutuhkan cahaya. Ada satu cahaya
yang tidak pernah padam, cahaya itu ada dalam hatiku. Cahaya lainnya? Ada.
Cahaya itu tersebar dan tertanam di sepanjang jalan, yang selalu menerangi
langkahku. Satu persatu cahaya itu kulewati demi langkahku untuk maju ke depan.
Jika aku ingin menghemat cahaya yang ada tentunya langkahku tidak akan pernah
maju.
Aku
tidak pernah ingin menyalahkan siapapun lagi, termasuk situasi. Aku dilahirkan
seperti ini, aku dididik seperti ini ,dan dihajar seperti ini. Hanya sedikit
orang yang kucintai, maka dari itu, cahaya cahaya tersebut, kucabut dari dalam
tanah dan menanamkannya di dalam hatiku. Jika cahaya-cahaya itu mati, akupun
juga akan begitu. Tidak ada yang kuharapkan lebih lagi, aku hanya ingin melihat
ujungnya.
Aku
putus asa.
***
Aku
melarikan diri ke tempat yang sangat jauh dari Genoa. Aku tinggal di daerah
Raffles Ave, Singapura. Dari Eropa ke Asia, Al sangat membantuku, ia membantuku
untuk membuat passport dan membuat kewarganegaraanku di sini, ia bahkan sampai
pindah rumah sementara waktu ke Roma, untuk menghindari Zedd, aku yang
menyuruhnya untuk tidak memberitahukan apapun pada Zedd, aku akan selalu merindukan
Al.
Aku memutuskan untuk tidak akan kembali ke
Genoa lagi. Jadi, aku yang akan menunggu Al untuk mengunjungiku. Aku bersekolah
dan bekerja di sini, Singapura sama kecilnya dengan Genoa, jadi aku mudah untuk
menghafalkan tempat. Al sering memberiku kabar lewat surat 1 minggu sekali,
biasanya hari Sabtu, agar jika aku membacanya, itu merupakan motivasiku untuk 1
minggu ke depan. Dan hari ini hari Sabtu seharusnya surat dari Al sudah datang.
“This is for you Ms.Isabel.”
“Thankyou.”
Mr.Go
Chan memberikan sepucuk surat padaku.Mr.Go Chan adalah pemilik flatku yang
baru. Melihat Mr.Go Chan aku mulai rindu dengan Mrs.Chloe.
Aku
masuk ke dalam flatku. Duduk di sebuah kursi di depan meja kecil. Dan membuka
surat itu.
“Hai
Nor. Aku baik-baik saja, namun ada seseorang yang mengancam membunuhku jika aku
tidak menyertakan rekaman suaranya padamu.”
Aku
membuka surat itu lebih lagi, dan menemukan sebuah mp3 player.
Aku
mulai mendengarkannya
“Kau
bodoh.
Bukankah
sudah ku katakan bahwa kau tidak boleh pergi?”
Zedd.
“Aku
mencarimu dari ujung Genoa sampai ujung lainnya, bahkan teman gilamu ini tidak
memberitahukan keberadaanmu, sama sekali. Kau tidak memberikanku ucapan selamat
tinggal? Kau pergi begitu saja? Bahkan kau tidak membawa barang-barang apapun
bersamamu. Sebegitukah kau ingin meninggalkanku? Kau tahu betapa aku hampir
gila mencari dimana keberadaanmu?”
Suaranya
bergetar
“Kau
tahu betapa aku ingin bertemu denganmu, memelukmu, menghapus air matamu. Aku hampir gila karena keputusanku
mencintaimu. Aku berharap tidak pernah bertemu dengamu dari pada harus
kehilanganmu. Aku menyerah pada diriku sendiri untuk menemukanmu. Aku berdebat
hebat dengan Ayah dan Ibuku demi kau, tapi kau pergi meninggalkanku. Aku
berusaha untuk tidak memperdulikan bahwa aku punya ikatan darah denganmu, dan
kau adikku. Tapi kau meninggalkanku. Kau tahu seberapa kerasnya usahaku,
rasanya aku ingin melompat dari gedung tertinggi agar tidak merasakan cinta
seperti ini. Tapi kau dimana? Kau dimana?”
Zedd
mulai menangis. Aku merasa ingin bertemu dengannya untuk menangis bersamanya.
“Namun,
waktu menyadarkanku dalam banyak hal. Dan hal terbesar adalah, aku tidak bisa
bersama denganmu.”
Aku
menangis untuk kesekian kalinya
“Bukankah
kau Adikku? Bukankah kau juga kekasihku? Untuk keduanya aku ingin mengatakan
banyak hal,
aku tidak akan lagi mencarimu.
Aku
berharap untuk tidak bertemu denganmu lagi, karena itu akan menyulitkanku untuk
melupakanmu dan mempermudahku untuk berlari dan mendapatkanmu. Dan sebagai
adikku...”
Zedd
menarik nafasnya panjang-panjang
“Aku
tidak akan pernah menjadi kakakmu. Aku tidak pernah memilih untuk menjadi itu.
Tapi kau harus jaga dirimu baik-baik, dengarkan aku
kau
tidak boleh mabuk, kau harus pulang paling lambat pukul 8 malam, cari teman
sebanyak-banyaknya,tapi jangan berteman dengan orang yang salah, kucirlah
rambutmu jika pergi ke sekolah, catat dengan rapi apa yang gurumu katakan, tidurlah
dan jangan paksa dirimu untuk terus belajar sampai pagi, berolahraga dengan
rutin, jika kau merasa nyeri di kakimu oleskan minyak yang biasa, makanlah
dengan teratur, potong rambutmu jika sudah mengganggu pengelihatanmu, jangan
paksa dirimu jika kau sudah lelah untuk bekerja, berdoalah setiap hari, pakai
pakaian hangat dimusim dingin dan pakaian dingin dimusim hangat, tapi jangan
yang terbuka, bekerja keraslah, tertawa dan tersenyum sebanyak –banyaknya, jika
kau menangis jangan menangis sendirian, pergi dan cari udara segar, jadilah
juara kelas, dan jangan bermimpi mendapatkan kekasih bila sekolahmu belum
selesai. Aku kakak yang baik bukan? Jangan pernah cari aku, hiduplah dan
bersenang-senanglah
aku
merindukanmu.”
Rekaman
itu berhenti.
Aku
menelungkupkan wajahku ke dalam tangkupan tangan untuk menangis lagi.
***
Dia
memang cahaya, tapi dia bukan cahaya yang tersebar dan tertancap di pinggir
jalan. Dia cahaya yang ada di dalam hatiku.
Aku tidak pernah bermimpi untuk dapat
merasakan hal seperti ini. Karena sesunggunya ini memang nyata.Aku lebih
mempercayainya dari pada aku mempercayai diriku sendiri. Aku tidak yakin aku
tidak akan bertemu dengannya lagi walaupun kami tidak saling mencari, tapi
untuk apa berharap untuk bertemu.
Dia
selalu ada bersamaku,
di dalam
hatiku.
***
Key
said: So, thankyou for requesting Sekar! Hope you like it!! And i’m sorry it
needs about 1 year to finish it haha. Btw Happy new year 2015. And may you have
a special year ahead! xoxo